Detikan jarum jam kian menyeret pada alam yang terasa hampa pun kacau untuk dirasa. Jungkook masih menatapku dengan keluhan yang ingin segera aku paparkan. Aku tidak berbohong tatkala pemuda itu berucap halus pun sirat akan sebuah kata seakan timbul dari pendaman hati yang paling dalam.
Namun, barangkali aku mendorongnya untuk segera beranjak. Tubuhku masih terpaku pada tatapan yang mampu membuatku berontak. Berontak ingin segera terbebas, entah pula berontak dalam kata hal yang lain. Terbesit perasaan untuk tergiur akan ucapan yang dilontarkannya. Kendati tanganku bergerak untuk dapat meraih wajah pun bubuhan tamparan yang jarang sekali aku torehkan, nyatanya lenganku terdorong untuk segera memupus jarak—saling menempelkan ranum yang seakan menjadi hal langka bagiku.
Ya, aku memulainya lebih dulu. Tidak ada saling pagut sama sekali. Aku hanya menutup mata seraya mencecap tiap desiran halus yang kian menggebu. Ketika kepalaku bergerak untuk menjauh, nyatanya dia lebih dulu meraup tak kalah cepat—menyicip tiap bilah bibir dengan pagutan yang kian melembut penuh rasa.
Entah ini melanggar apa yang sedari awal aku teguhkan tatkala akupun kembali memejam untuk kembali menikmati, merasakan lidah itu saling bertaut penuh tuntutan. Ketika dada ini kian merasa sesak, kualihkan jemariku untuk mendorongnya pelan. Obsidian kami saling bertemu dengan tatapan sirat akan sebuah keinginan. Nyatanya aku lebih bodoh untuk menyembunyikan apa yang dia inginkan.
Kuhembuskan napas sesaat sebelum kembali menatapnya tak kalah jeli dan dalam. Manik hitam milik pemuda itu yang kerap kali menjadi candu akan berdesirnya jantungku, bahkan mampu membelenggu jiwa sendiri dengan rasa perih tatkala aku tidak berhasil membuat irisnya teralihkan sepenuh hati untukku.
"Dua. Kurasa sudah dua kali kau memberi ucapan yang hanya sebatas angan itu. Perasaan lelah bisa saja menggeser tabiatku yang bersikukuh untuk mempertahankanmu, Jeon. Aku tidak memintamu untuk berjuang lebih keras. Hanya saja, setidaknya kau dapat merasakan apa yang kurasakan—meski itu hanya secuil kotoran kuku," ucapku dengan bersusah hati untuk meyakinkan diri.
Tidak, tentu saja, tidak.
Jika aku berucap hanya untuk menuntut agar Jungkook dapat berjuang jauh lebih keras untuk mendapatkanku kembali. Untung darimana pula Jungkook berlaku dengan senang hati untuk memungutku, 'kan? Sial, rasa-rasanya aku seperti sampah ringan di pinggiran kota.
Aku bergerak kacau untuk berusaha menyingkir dari kukungan Jeon Jungkook di atas tubuhku. Pertentangan hebat terjadi di dalam benak. Ini bukan seperti diriku yang sebenarnya, aku tidak bisa membuat orang lain hancur dengan beberapa patah kalimat yang kukeluarkan. Nyatanya aku tidak sanggup jika harus di hadapkan dengan guratan paras miliknya yang seakan terhunus ribuan luka.
Abaikan, abaikan, abaikan.
Aku berperang hati untuk tidak mengindahkan, kendati lukaku jauh lebih parah dari pada lukanya. Meski aku tahu, Jungkook pasti merasakan luka yang sama. Aku berusaha untuk tidak peduli pada lukanya yang tercipta dari wanita lain. Cukup lukaku saja yang dapat menginvasi semua pahitnya kehidupanku, aku bahkan tengah berjaga agar hidupku kelak nanti tidak kembali berulah untuk menciptakan luka baru lagi yang tidak mau kalah.
Kurapihkan sedikit pakaian yang sedikit tersingkap entah sejak kapan. Aku menghela napas sesaat sebelum kembali berbalik dengan tatapan Jungkook yang masih terarah sepenuhnya padaku. Merasakan jika aura hening kali ini tidak seperti heningan malam-malam seperti biasa. Ini terlalu mencekam dengan berbekal keputusan yang kubuat setengah hati.
"Aku tidak akan mengganggumu. Kau beristirahatlah, kemungkinan pula aku akan bermalam di tempat lain hari ini," kataku dingin pun berbalik enggan untuk menatapnya.
Aku berjalan sedikit gusar untuk menggapai gagang pintu dengan berusaha keras agar tidak peduli apa-apa. Bersikap masa bodoh kali ini, setidaknya menutup kemungkinan pada diriku untuk tidak kembali meneteskan air mata dengan bubuhan isak yang menjijikan.
Belum genap beberapa langkah untuk mencapai daun pintu, suara di belakang sana kembali menyaut pelan. "Pergilah sejauh mungkin, sampai ke ujung dunia, jika bisa. Tetapi jangan merasakan dongkol luar biasa ketika aku dapat dengan mudah untuk kembali menemukanmu, Nyonya Jeon." Jungkook berucap seraya menyeringai remeh.
Aku menyimaknya dengan perasaan kesal teramat kesal tatkala kudengar kekehan ringan dari mulutnya keluar begitu saja.
"Berhenti untuk mengubah margaku dengan margamu, Tuan Jeon!" Aku bersuara geram pun terdengar cukup lantang untuk ruangan tersekat yang kami jejali. Bukan saat yang tepat untuk memikirkan bagaimana presensi Taehyung yang pasti sudah kuduga tengah menahan kepalan untuk tidak segera menggedor pintu dengan kasar.
"KAU MASIH TERIKAT SEPENUHNYA DENGANKU, AHN SEULBI!" teriaknya dengan perasaan jengah yang tidak dapat tertampung.
Aku menutup mata dengan perasaan yang kembali bergetar hebat. Seharusnya aku menyadari lebih awal jika pertikaian antara kami tidak akan pernah ada habisnya. Kendati Jungkook berucap kasar memakai urat sekalipun, aku tidak akan pandai untuk melawannya.
Di dalam situasi-situasi seperti ini, sedikitnya aku dapat bercermin sinting jika nyatanya aku hanya seorang wanita lemah yang membutuhkan sebuah pengakuan. Namun jauh dari apa yang selalu kudamba, ternyata pengakuan yang sebenarnya terlempar begitu saja dari mulut suamiku diiringi pula dengan intonasi yang begitu menyakitkan jika hanya didengar dengan kasih sepenuh harap.
"TETAPI KAU TIDAK BISA SEPERTI ITU, JEON JUNGKOOK. TIDAK BISA!" teriakku kembali dengan suara yang nyaris tercekat seakan penuh dengan gumpalan rasa sakit.
Satu gedoran kasar di luar sana kembali menyadarkanku akan kehidupan pahit yang baru saja aku lewati. Teriakkan Kim Taehyung di luar sana menyurutkan geraman tertahan untuk tidak kembali kuucapkan. Cukup kali ini aku melumuri mulutku dengan bentakan kasar, ya, cukup kali ini.
"Aku tidak tahu mendapatkan keberanian darimana untuk menyaut membentakmu. Dan pula dengan keputusan yang kuambil, kuharap kau dapat menyetujuinya, Jeon Jungkook," jedaku dengan tubuh yang masih enggan untuk berbalik menghadapnya.
Dengan berat hati tangaku terangkat untuk membuka kunci, pun berucap dengan lelehan air mata yang berusaha keras kubendung tidak ingin terlihat. "Mari kita hidup dengan jalan masing-masing, Jeon Jungkook. Kau tidak akan terikat lagi denganku, dan akupun sebaliknya. Kau bebas sekarang, akupun sama. Mari bakar ikatan ini jika hanya aku yang kembali terjerat dengan luka yang sama. Aku harap kau dapat menyetuji keputusanku kali ini, dan—selamat malam."
Tungkaiku bergegas keluar dengan perasaan hancur melebur seakan tidak dapat mengenali siapa pemiliknya. Hidupku teramat kacau, jalinan kasih yang selama ini aku jaga sekuat hati rubuh begitu saja. Penyanggaku terlalu lemah jika harus menampung perasaan sepihakku tanpa seorangpun yang dapat membantu. Tidak, tidak seorang dari luar yang dapat kuandalkan, tidak. Tentu saja, tidak. Hanya seorang lelaki yang selalu aku harapkan sepanjang hari, waktu, pun doa.
Jeon Jungkook, suamiku sendiri. []
***
a/n: aku di sini mau minta maaf jika chapter kali ini tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan. Maaf pula saran yang engga aku ambil, mungkin
—sedikit. Karena aku di sini berusaha untuk menyesuaikan denga outline yang aku buat. Sekali lagi, maaf, dan terimakasih.Big luv❤
Dali💜
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest