~Sayangi orang tuamu, sebenci apa pun kamu dengan mereka.
Karena jika Tuhan telah mengakhiri waktu kalian untuk bertemu, sampai ujung dunia pun tak bisa kalian temui sosoknya jika bukan di surga—Nya.~Bel pulang sekolah kini berdering, sontak seluruh siswa-siswi langsung berhamburan keluar dari kelas untuk sampai terlebih dahulu mencapai gerbang. Heran, padahal cepat atau lambat mereka jalan pasti ujung-ujungnya sampai, kenapa harus berlarian?
Tidak seperti yang dilakukan oleh keempat gadis itu. Mereka berjalan beriringan dengan langkah santai tanpa terpengaruh oleh gedebak-gedebuk kaki di sekitarnya. “Eh ... main ke taman dulu yuk,” ajak Vina memecah kebisuan yang membuat dirinya gemas sedari tadi.
“Mau ngapain?” Sefita melihat tidak ada satu orang pun dari mereka yang menanggapi ucapan Vina. Alhasil dia memilih menjawabnya dengan malas-malasan, antara kasihan dan menahan kantuk yang sudah mulai merambat ke bola matanya. “Ya ngapain gitu, bosen gue di rumah.”
“Ngikut aja lah gue,” timpal Listi sambil sesekali melepuhkan permen karetnya hingga meletus dan kembali akan dikunyahnya, begitu terus sampai permen itu terasa tawar.
“Sorry guys gue nggak bisa, mau ketemu Ayah dulu.” seketika saja ucapan Nadia menjadi pusat perhatian mereka bertiga. Bahkan Sefita yang tadinya sudah merem-melek pun langsung membulatkan matanya seolah lupa jika dirinya tadi tengah menahan kantuk.
“Kalau gitu kita temenin,” ucap ketiganya serempak dengan raut wajah serius yang langsung mendapat senyuman tipis dari Nadia. Dalam hati ia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka yang tidak pernah meninggalkannya meskipum sedang dalam masa terburuk sekali pun.
"Nggak usah, gue pergi sendiri aja. Udah yuk jalan." Ketiganya hanya bisa mengangguk pasrah, mungkin memang Nadia membutuhkan ruang privasi dengan ayahnya. Mereka akhirnya pulang dan membiarkan Nadia melajukan motornya yang kini berjalan berbeda arah dari jalur yang akan ketiganya lewati.
•••
Tepat saat gerimis menerpa, Nadia sudah sampai di depan rumah ayahnya. Sebuah gundukan tanah dengan sebaran bunga mawar yang terlihat masih segar, bahkan aromanya saja masih sangat harum. Tak heran, karena kemarin Nadia sudah mengunjungi tempat ini setelah pulang dari sekolah.
Nadia tersenyum, menahan rasa rindu yang tak pernah hilang di dalam lubuk hatinya. 7 tahun mereka tidak saling tatap, tidak bertukar kabar, dan tidak bercakap-cakap. Jujur selama ia hidup di dunia ini, Nadia jarang sekali bertemu dengan sang ayah, karena ayah dan ibunya bercerai di umurnya yang masih kecil, dan hak asuh anak diberikan kepada sang ibu.
Dulu ia pernah tinggal dengan ayahnya, kurang lebih sekitar dua tahunan. Tapi Nadia harus kembali tinggal bersama mamanya saat gadis itu berumur enam tahun. Setelahnya mereka jarang bertemu kembali, kabar pun semakin berkurang. Hingga tiba saatnya Nadia hancur.
Kelas 4 SD, saat tengah asiknya ia bermain, mamanya berlari memeluk Nadia dengan membisikkan sebuah ucapan yang membuatnya terdiam kaku.
"Ayah meninggal, nak."
Yah, Nadia ingat sekali ucapan itu. Ucapan yang membuatnya marah pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak berguna, ia merasa jika hidupnya hanya membawa kesedihan bagi keluarganya. Namun saat itu, entah mengapa air matanya tidak juga luruh, setetes pun tak ada yang melewati pipi kecilnya, mungkin karena memang Nadia belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia dengar.
“Assalamualaikum, Ayah,” ucap Nadia lirih sambil mengelus pelan batu nisan yang tertempel di atas makam ayahnya. Dadanya sesak untuk berbicara terlalu panjang, tetapi Nadia ingin sekali mengutarakan keluh kesahnya kepada sang ayah.
“Nadia datang lagi, Yah. Ayah gimana di sana? Udah bahagia kan? Udah dong pastinya, ya 'kan Yah?” Tolong Nadia, Tuhan. Gadis itu rapuh jika harus mengingat kembali masa kecilnya, ia tidak sanggup untuk tetap baik-baik saja, ia juga manusia yang dapat mengeluh.
“Ayah, sekarang Nadia udah besar loh, Ayah nggak kangen ya sama Nadia? Ayah nggak mau temuin Nadia? Kita main bareng lagi Yah, kita buat rumah pohon kayak dulu. Kita lihat bintang berdua, kita minun teh hangat berdua. Meskipun dulu Ayah nggak tinggal sama Mama, tapi Nadia nggak pernah sedih. Kenapa Ayah harus pergi secepat itu? Apa Ayah udah capek nemenin Nadia? Nadia nakal? Iya, Yah?”
Air mata Nadia mengalir bersama turunnya hujan yang semakin deras, tak kuasa menahan perih di hatinya. Dulu hidupnya hampir sempurna, penuh tawa dan bahagia. Tapi semenjak ayahnya pergi, hidup Nadia hampa, tak ada lagi yang menemaninya melihat bintang di malam hari, tak ada lagi yang membuatkannya rumah pohon di depan rumah. Jika boleh Nadia meminta, ingin sekali dirinya terbaring di sisi ayahnya saat ini juga, agar lara hidupnya tidak semakin besar, agar sakit di hatinya tidak semakin menjadi.
"Ayah ...."
Suara Nadia lekas parau, bukan lagi sebuah ucapan namun kini berubah menjadi isakan-isakan lirih yang menggerus hati. Tenggorokannya mendadak sakit, kepalanya pusing, ditambah lagi dengan udara sekitar yang mulai menusuk kulit. Ah jangan lupakan, bajunya kini juga sudah basah kuyup akibat hujan yang terus mengguyur tanpa henti.
"Ayah ... Nadia benci sama rindu, Nadia muak setiap Nadia pengen ketemu Ayah tapi nggak bisa, Nadia marah sama diri Nadia sendiri. Ayah ... apa Tuhan marah sama Nadia? Apa Tuhan benci sama Nadia sampai Tuhan ngasih rasa sakit yang sangat menyiksa ini? Iya Yah? Tuhan marah ya sama Nadia?"
Lama tidak ada jawaban dari sang ayah membuat Nadia tersenyum tipis. Ia menyerah, ayahnya sudah tidak mau lagi berbicara dengannya. Tidak ingin dan tidak pernah.
"Ayah ... Nadia pulang ya, di sini dingin, besok kalau nggak hujan Nadia kesini lagi ... assalamualaikum Ayah ...."
Nadia pun mulai berdiri, menatap makam ayahnya sebentar lalu berjalan pergi. Mungkin memang Nadia harus bertahan hidup, setidaknya demi sang mama yang masih setia memeluk dirinya ketika sedih maupun senang.
"Tuhan ... Nadia ... rindu Ayah," batin gadis itu dalam hati sambil mengusap tetesan air matanya untuk yang terakhir kali. Setelahnya, dia benar-benar pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
AcakSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...