Bab 17 | Bolos ke Kantin

102 13 0
                                    

     Pagi-pagi sekali kelas 11 IPA 2 sudah kedatangan guru Bahasa Inggris yang parasnya seperti bidadari. Bukannya senang, semua murid malah terlihat seperti orang depresi.

     "Good morning students," sapa Bu Tiwi yang akan memulai pelajaran. Perlu diakui, Bu Tiwi selalu terlihat manis setiap saat, entah itu saat marah maupun tidak. Tapi percuma, siswa-siswi tetap tidak tertarik dengan guru itu dikarenakan sikapnya dalam mengajar yang menurut mereka sangat meresahkan.

     "Good morning Mom," jawab para murid serempak dengan gaya kusut mereka. Sudah sering terjadi. Di sekolah mereka ini tak hanya pelajaran IPS yang mendatangkan kantuk, Bahasa Inggris pun sama, bahkan mungkin lebih parah.

     "How are you today?"

     "I'm fine, thank you, and you?"

     "I'm fine to thank you ... open your book!" titah guru itu sebelum pandangannya tertuju kepada gadis yang kini tengah sibuk mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas.

     "Nadia, apakah kamu sudah sembuh?" Nadia yang ditanya seperti itu pun langsung menghentikan aksi ambil-mengambil bukunya dan memilih menatap Bu Tiwi.

     "Sudah, Mom."

     Bu Tiwi mengangguk dan mulai bersuara, "syukurlah, makanya jangan bandel kalo jadi anak itu!"

     Nadia heran dengan gurunya yang satu ini, apa hubungannya sakit dengan bandel? Toh dia kan sakit karena seseorang, bukan karena bandel.

     "Iya Mom," timpal Nadia seadanya. Tak mau ambil pusing dengan ucapan Bu Tiwi, karena jika terus dipikir sama saja membuang-buang waktu dan menyiksa otak pas-pasannya itu.

     Saat ia selesai mengeluarkan alat tulisnya, tiba-tiba saja ia mendengar suara Sefita yang duduk tepat di belakangnya.

     "Mom saya mau izin ke toilet, ya."

     "Beneran? Paling juga mau bolos." Bu Tiwi tampak ragu akan ucapan Sefita. Bukannya tidak percaya, tapi sudah 5 kali berturut-turut Sefita selalu izin ke kamar mandi. Bu Tiwi pun semakin ragu saat melihat gelagat Listi dan Vina yang menurutnya aneh.

     "Mom ini sudah mentok, kalau Fita nggak bisa nahan gimana? Kalau bau pesing gimana? Siapa yang mau ngepel kelas ini? Hayo Mom siapa?" balas Sefita dengan tampang menderitanya meskipun hanya dibuat-buat.

     "Jorok banget ya kamu Ta, sudah-sudah sana kalau mau ke toilet," pasrah Bu Tiwi yang membuat Sefita seakan merdeka sebelum berperang. Ia pun dengan entengnya pergi meninggalkan kelas menuju kantin, perutnya sudah bergejolak menahan lapar sejak tadi.

     "Maafin Fita ya Allah ... Fita salah, tapi Fita laper," keluh gadis itu sepanjang jalan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli dengan pelajaran Bahasa Inggris, karena setiap ditanya alasan apa yang membuat dia tidak suka Bahasa Inggris, Sefita selalu menjawab ....

     "Buat apa belajar Bahasa Inggris, mau ke sana juga kagak. Mending belajar Bahasa Sunda, cowok sana ganteng-ganteng," ucapnya seraya berjalan menyusuri koridor.

     Lihat? Ia lebih tertarik dengan produk lokal daripada produk internasional. Dasar Sefita ini.

     Langkah gadis itu mendadak terhenti, ia terdiam mematung saat melihat ada seorang lelaki yang tengah makan di kantin. Apakah cowok itu juga bolos pelajaran? Seketika saja pikirannya melayang pada cerita-cerita novel yang pernah ia baca. Seperti ....

     "Kamu bolos pelajaran?" Benar kan apa yang ada di pikiran Sefita?
Gadis itu ingin sekali berteriak memanggil ketiga sahabatnya untuk melihat kegugupan yang tengah ia alami saat ini. Karena untuk kali pertama ia diajak bicara dengan seorang pria tampan, dan itu ... pacarnya sendiri.

     "I-iya ... kamu juga?" Sefita harap-harap cemas jika cowok itu hanya cuek dan tidak menjawab pertanyaannya. Oh ayolah, ia ingin sekali berbincang dengan pria itu. "Iya."

     Sefita tersenyum paksa. Mungkin hanya sebatas itu ia berbincang, tak ada yang bisa diharapkan lagi oleh gadis itu selain berjalan mendekati Bi Minah dan memesan semangkuk bakso dan juga es teh.

     Setelah pesanannya siap, Sefita kembali berjalan hendak mencari tempat duduk. Sebenarnya tidak perlu di cari, karena seluruh meja di kantin ini kosong kecuali meja yang tengah diduduki oleh Eksa.

     "Duduk sini aja." Sefita berhenti. Apa katanya? Mungkin ini hari keberuntungan untuk Sefita. Ditolehkannya kepala gadis itu lalu ia tersenyum dan mengangguk. Mereka akhirnya duduk saling berhadapan.

     Jangan tanya bagaimana Sefita. Gadis itu susah payah menahan kegugupannya, bahkan ia sampai tidak bisa hanya untuk menusuk bakso yang tadi ia pesan.

     "Sayang, minta baksonya, boleh?"

     Oh astaga ... jangankan minta bakso, Eksa minta hati saja bakal Sefita kasih. "Tapi sendoknya udah aku pak ... ehh."

     "Kelamaan sayang. Lagian gapapa kali, toh juga nggak nempel langsung kan?" Eksa terkekeh membuat Sefita ingin menggeplak kepala cowok itu. Ternyata dia cowok yang sangat bisa membuat wanita mana pun jatuh hati.

     "Kenapa diem? Kamu mau nasi goreng nggak? Cobain nih."

     Apakah Sefita harus membuka mulut saat melihat sendok berisi nasi yang terulur kearahnya itu? Demi apa Sefita disuapi cowok tampan? Hah mungkin Sefita tidak akan makan lagi setelah ini, dia tak mau lidahnya tercampur zat lain lagi selain bekas bibir dari Eksa.

     Perlahan ia membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Eksa. "Aaa ...."

     "SEFITA!"

     "Uhuukk ... uhukkk ...." Sefita terbatuk saat nasi itu baru saja masuk ke mulutnya. Dalam hati ia mengumpati ketiga sahabatnya itu yang datang diwaktu yang tidak tepat. Gagal sudah acara-acara romantis hari ini.

     "Lo kenapa udah pada keluar, kan bel belum bun ...

     Kriiing ...

     nyi."

     Rupanya Sefita melupakan waktu hanya karena cowok di hadapannya ini. Dan kini ... ia harus menyiapkan mental untuk menghadapi ketiga sahabatnya yang pasti akan melakukan interogasi dadakan seakan dia adalah pencuri ayam kampung.

     Sefita ... sabar ya.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang