Bab 8 | Tanding Basket

154 18 2
                                    

Sudah berkali-kali Listi menguap saat melihat ketiga sahabatnya yang sejak tadi terus saja berlarian mengejar bola. Hari ini SMA Cemara Indah tengah mengadakan pertandingan antar kelas, dan bertepatan di hari Kamis yang entah mengapa cuacanya sangat panas ini, kelas mereka mendapat bagian untuk mengikuti pertandingan.

Bukannya apa-apa, masalahnya Listi tidak pernah tertarik dengan hal apa pun yang berbau olahraga. Jangankan basket, peregangan tubuh saja ia sering bolos. "Woy Lis, diem aja lo, temen lagi main juga!" Di samping Listi, terlihat Aprilia yang menggerutu sebal atas tingkah salah satu temannya itu. Bagaimana tidak? Sedari tadi Listi hanya menguap sambil sesekali memejamkan matanya, siapa orang yang tidak jengkel jika melihat suporter macam Listi?

"Go MIPA two go!" Teriakan dari seluruh teman kelasnya membuat Listi menggeram kesal. Sungguh ia ingin sekali duduk bersender di kantin sambil memakan ayam bakar Bang Didin, syukur-syukur diberi es teh gratis.

Namun khayalan Listi terpaksa buyar saat teman-temannya mulai berkoar emosi sambil melempari botol bekas ke tengah lapangan. Listi mendengus, ini yang selalu membuatnya malas. Teman-temannya itu termasuk tipe manusia berbahan api, mirip-mirip titisan setan lah. Jadi, jika mereka melihat suatu hal yang tidak bisa diterima oleh hati, maka emosi lah yang akan beraksi.

Sebelumnya Listi sama sekali tidak tertarik dan malah berniat pergi dari tribun, tapi melihat objek kekesalan teman sekelasnya membuat ia ikut termakan amarah. Tanpa peduli lagi gadis itu langsung berlari ke tengah lapangan dan menendang badan seorang lelaki yang kini sudah tersungkur di tengah lapangan.

"BANCI! INI MASALAH CEWEK LO WOY, BUKAN MASALAH LO!" teriak Listi yang langsung ditenangkan oleh beberapa orang di sana. Berbeda dengan cowok yang ditendang oleh Listi tadi, dia malah tersenyum miring dan mulai berdiri menghadap gadis itu.

"Gue nggak ada urusan sama orang gila kayak lo!" tegas Regar tajam sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Listi. Tentu saja gadis itu menggeram marah, enak saja dirinya disebut gila.

Ketiga sahabatnya dicaci maki oleh lelaki itu, bukan ketiga sahabatnya saja, lebih tepatnya satu tim. Dan lebih parahnya lagi, Regar menyebut Listi dengan sebutan orang gila?! Oh Tuhan, Listi memang gila, tapi dia juga masih bisa menjalankan akal sehatnya.

Sebenarnya gadis itu juga tak terlalu paham akan masalah mereka semua, dia hanya emosi saja melihat perlakuan Regar terhadap teman-temannya itu. Alhasil di sinilah ia sekarang, ingin membela namun tidak tahu kebenarannya, ingin diam tapi dia sudah terlanjur menyelam. Apa boleh buat, nikmati saja.

"Vina ... kamu nggak apa-apa?" Dari ujung lapangan terlihat Fandi dan dua teman Regar yang kini tengah berlari menghampiri mereka, hal itu sudah pasti membuat Listi kesal, lihat saja apa yang akan terjadi.

"Enggak papa Fan, cuman jatuh doang." Fandi melotot dan langsung mengecek kaki Vina yang ternyata terdapat sedikit darah. Ia pun dengan segera menggendong Vina ke UKS tanpa peduli akan apa yang menjadi penyebab gadis itu terjatuh, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Vina.

"Pipi lo kenapa merah?" Kini giliran Eksa yang bersuara. Ia mendekati Sefita lalu dengan perlahan mulai mengelus pipi kiri gadis itu. Dalam hati Sefita menjerit kegirangan, sebelumnya adegan romantis di tengah lapangan hanya ia temui di novel-novel yang pernah ia baca, tapi sekarang ... ah senangnya.

Berbeda dengan isi hati Listi, sejak tadi dia terus mengucapkan kata penenang di dalam hatinya, seperti, "penonton harap sabar, ini ujian." Ya memang seperti itulah nasib jomblo, jika tidak dikucilkan ya dilupakan, dan ini kali pertama Listi merasakannya.

Gadis itu kembali tersadar dari lamunannya saat melihat Sefita yang sudah dibawa pergi oleh Eksa entah ke mana. Ia ingin ikut, tapi niat itu diurungkannya saat berpikir jika nanti ia hanya akan diabaikan oleh mereka berdua.

"Dompet lo masih ada di gue kalo lupa," ucap Zena yang langsung membuat Nadia teringat akan dompetnya yang sejak kemarin ia cari-cari namun tidak juga ketemu. Gadis itu ingin menjawab, tapi Zena sudah lebih dulu menggenggam tangan Nadia dengan mesra dan mengajaknya pergi meninggalkan lapangan.

Katakan mampus pada Listi!

"Listi, bantuin kita kek, mereka udah buat pelanggaran loh." Listi kembali tersadar saat suara Tresia masuk ke dalam pendengarannya. Jujur ia seperti kehilangan gairah hidup, melihat ketiga sahabatnya yang pergi tanpa mengajak dirinya merupakan suatu tindak kebablasan yang sangat fatal baginya.

"LISTI!" Listi terkejut bukan main, seenaknya saja bentak-bentak orang, padahal mereka sangat tahu jika Listi mudah terkejut meskipun dengan hal-hal yang sepele. "Ish tau ah."

Saat Listi hendak pergi, tubuh gadis itu langsung diseret oleh teman-temannya yang sepertinya sangat membutuhkan bantuan Listi. Tidak heran, karena hanya Listi lah yang mampu menandingi debat dengan lawan mereka. "Gue bukan tali, jangan ditarik woy! Iya gue bantuin."

Akhirnya mereka diam membiarkan Listi menyiapkan kata-kata. "Eh Mbak, gue tau lo nggak pernah menang kalo tanding sama lawan-lawan lo, tapi dengan lo ngelakuin pelanggaran kek gini, itu malah jadiin reputasi lo turun di mata semua orang, paham?!"

"Lo jangan seenaknya ya kalo ngomong!"

Listi tersenyum remeh melihat Regar yang membantah dengan penuh emosi. Dasar, bucin sekali pria itu. "Eh pocong kebon, gue ngomong sama cewek lo noh, bukan sama lo, ngebet banget lo debat sama gue!"

Regar terdiam tak bisa menjawab, ia juga heran, padahal lelaki itu biasanya sangat anti dengan adu mulut, tapi entah mengapa saat melihat Listi di depannya, semangat untuk bertengkar dengan gadis itu mendadak bergejolak.

"Sayang," rengek seorang gadis di samping Regar dengan wajah sok imutnya. Ralat, gadis itu memang imut, tapi bukannya terpesona, Listi malah jijik sendiri melihatnya. "Lo kenapa sih?!"

"Kamu ngebentak aku?"

Cukup sudah! Listi tidak tahan melihat semua ini, belum lagi keadaan perutnya yang mendadak tidak enak. Bukan, dia bukan ingin muntah, tapi dia ... lapar. Yah, gadis itu sampai lupa dengan tujuan hidupnya untuk mengisi perut.

"Bapak wasit yang terhormat, tandingnya ditunda dulu ya, kasian kapten mereka loyo gitu, takut nanti jadi jelly di tengah pertandingan." Sekali lagi Listi berkata pedas di depan mereka semua, ia tidak peduli akan jawaban dari sang wasit, karena setelah mengatakan itu, Listi memilih pergi dari sana dan diikuti teman-temannya yang tadi ikut bertanding.

Banyak sorak sorai di pinggir lapangan, dan alasannya hanya satu ... penonton kecewa. Mereka semua tidak memiliki tontonan gratis lagi karena debat yang baru saja memanas telah usai, dasar manusia-manusia kurang kerjaan!

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang