Bab 30 | Tanpa Listi

73 10 1
                                    

     Libur sekolah kali ini sedikit lebih lama. Pasalnya, seperti yang kita ketahui, ada wabah virus yang merajalela hampir di seluruh dunia, virus yang bisa membunuh ribuan bahkan jutaan manusia.

     Selama virus itu berlangsung, kegiatan di luar rumah pun juga dibatasi, bahkan ada beberapa daerah yang sudah menerapkan kebijakan di rumah saja yang sering disebut dengan sebutan 'stay at home'.

     Mungkin satu sampai dua minggu masyarakat masih merasa nyaman, terlebih para pelajar yang tidak perlu merasakan mandi pagi-pagi hanya untuk ke sekolah. Namun, semua itu berubah ketika hari sudah berganti bulan.

     Bosan!

     Ingin bertemu teman tidak bisa, ingin berbelanja harus memakai masker, ingin makan di luar harus memperhatikan betul kebersihan tangan. Memang bagus hal seperti itu, tapi bagi kita masyarakat yang sering mencari cara simpel daripada harus melewati kesusahan, hal semacam itu pasti sangat ribet untuk dilakukan.

     Terlebih lagi kita diwajibkan untuk menjaga jarak. Hei! Apa kabar dengan orang yang ingin berpacaran di malam Minggu? Bagi para jomblo mungkin sebuah anugerah, tapi bagi kaum budak cinta adalah musibah!

     Seperti sekarang ini. Sejak sore tadi, Vina, Sefita, dan Nadia sudah berkumpul di rumah Nadia. Mereka nekad ke luar rumah demi melepas rindu satu sama lain. Tak apa lah ya, yang penting mereka tetap menjaga jarak dan membersihkan diri.

     Terlihat Nadia yang sedang terbaring di atas kasur tengah memejamkan mata. Rupanya dia mulai mengantuk. Sedangkan Sefita saat ini bermain ponsel di ambang pintu balkon dengan secangkir cokelat panas yang tergeletak di atas meja. Lalu Vina, gadis itu entah sedang apa di kamar mandi. Lama sekali! Padahal sudah sejak setengah jam yang lalu gadis itu masuk kamar mandi, dan sampai sekarang belum juga keluar?

     "Vin! Lo berak lama amat, sih?"

     Tak ada sahutan dari dalam. Sefita yang semula duduk santai di kursi kayu itu pun mulai berdiri dan mendekati pintu kamar mandi. Mengabaikan Nadia yang sudah terlelap di alam bawah sadarnya. "Vin!"

     "Vin, lo ngapain sih di dalem? Nguras bak mandi? Vin! Lo punya kuping nggak sih?!"

     "Vina mujaer! Woy!"

     Sekali lagi gadis itu memanggil, namun tak juga ia dapati balasan dari dalam sana. Sefita yang mulai cemas pun mengetuk pintu kamar mandi dengan brutal, otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih.

     Lama tidak ada sahutan, Sefita memutuskan untuk berlari ke arah nakas di samping kasur Nadia dan mencari kunci cadangan yang terletak bercampur dengan kunci-kunci cadangan lainnya.

     Cukup lama, tapi Sefita dapat menemukannya. Buru-buru ia kembali mendekat ke arah pintu kamar mandi, memutar-mutar kunci dengan tergesa dan membuka pintu dengan begitu kasarnya.

     Saat pintu berhasil terbuka, Sefita enggan mendekat. Ia ragu jika Vina memang benar-benar pingsan di dalam bathup.

     "Vin," panggilnya sekali lagi. Mencoba memastikan. Tapi gadis itu tak juga merespons. Jangankan menyahut, bergerak saja tidak.

     Dengan hati-hati Sefita memutuskan untuk mendekat, menyentuh bahu Vina dengan ujung telunjuk. Tapi tetap saja gadis itu tidak bergerak. Saat sudah yakin, Sefita buru-buru menggoncangkan tubuh Vina, berharap gadis itu tersadar.

     "Aaa!"

     "Aaa!"

     Keduanya kompak menjerit. Vina yang buru-buru mengambil handuk, dan Sefita yang langsung menutup kedua matanya menggunakan seluruh jari tangan. Sesuai dugaan Sefita, Vina hanya tertidur saja.

     "Lo gila ya, Ta! Gue cewek, Ta! Jangan nafsu sama gue!"

     "Woy kampret! Gue masih waras! Salah lo sendiri yang dipanggil kagak nyahut-nyahut!"

     Rupanya keributan kedua manusia itu berhasil membangunkan Nadia dari tidur lelapnya. Gadis itu pun langsung berlari ke dalam kamar mandi dan terngaga melihat kedua temannya yang berdiri berhadapan dengan Vina yang hanya memakai sehelai handuk di tubuhnya.

     "Kalian ngapain?!"

     Vina melotot. Ia mengibas-kibaskan tangannya hingga Sefita ikut menggeleng setelah dirinya sempat berbalik badan menghadap Nadia. "Kita nggak ngapa-ngapain, Nad. Serius! Tadi Sefita aja yang mau liatin gue mandi."

     "Enak aja lo kalo ngomong! Bukan gitu, Nad. Gue tadi manggilin Vina berkali-kali, tapi tuh bocah kagak nyahut. Ya gue kira dia pingsan, ternyata ketiduran."

     Nadia memberikan tatapan malas kepada Vina. Bahkan di dalam air hangat saja dia bisa tidur? Keturunan kerbau garis keras!

     "Kalo mandi jangan tidur, woy! Ntar kalo tiba-tiba pala lo kerendam air gimana?"

     "Mat—."

     "Apa lo bilang?!" sentak Vina tak terima saat kata-kata tidak pantas hendak diucapkan oleh Sefita. Sedangkan Sefita hanya bisa nyengir lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Menghadapi Vina memang melelahkan, pikirnya.

     Nadia juga memutuskan untuk keluar setelah melihat Sefita yang berjalan meninggalkan mereka. Sedangkan Vina lebih memilih memakai pakaian terlebih dahulu baru menyusul kedua sahabatnya.

     Mereka lalu berkumpul di atas ranjang milik Nadia. Saling menindih dengan kaki satu sama lain. Menatap langit-langit berwarna putih yang terpampang tanpa hiasan apa pun kecuali sebuah lampu kecil. "Listi ke mana, ya?"

     Nadia dan Sefita kompak menolehkan kepala ke arah Vina. Memberikan sorot hampa tanpa ada niatan untuk menjawab. Yah, memang akhir-akhir ini Listi jarang sekali berkumpul dengan mereka, bahkan mungkin tidak pernah.

     Selepas kejadian hari itu, Listi seolah menjauh dari lingkungannya. Ia seperti ingin menciptakan suasana baru di dunianya sendiri, tidak dengan keluarga besar, bahkan dengan ketiga gadis itu. Seharusnya Listi tidak boleh begini, ia harus berpikir dewasa. Bukankah pergi menghilang adalah tindakan egois?

     Tak ada yang bisa merubah semuanya, kecuali Tuhan sang pencipta semesta alam. Itu semua pilihan Listi, dan tidak ada yang berhak merubahnya kecuali dirinya sendiri. Lagi pula, Listi juga pasti punya alasan yang cukup valid atas pilihannya untuk pergi.

     "Lo tau nggak, Ta, di mana rumahnya?"

     "Terakhir, gue nganterin Listi cuman sampe rumah lamanya. Abis itu gue pulang. Dia mau pergi aja nggak minta gue buat nganterin."

     "Tunggu besok kalau sekolah aja deh," putus Nadia. Ia sebenarnya juga khawatir dengan keberadaan Listi, tapi jika semuanya khawatir, siapa yang akan memberi semangat? Tidak ada. Maka dari itu, sebisa mungkin Nadia tetap tenang. Dan semoga saja Listi cepat kembali.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang