Sebuah kepingan rindu terikat kuat di dalam kalbu tanpa bisa menguar menyatakan asumsinya. Bayangan tentang kejamnya realita sungguh menampar bengis jiwa yang kini selalu rapuh tanpa minat untuk mengobati.
Dunia sungguh kejam. Saat kehidupan yang seharusnya berjalan wajar namun sekejap diruntuhkan dengan hadirnya sebuah petaka yang disebut takdir. Berjalan sunyi layaknya seorang pencuri yang tak ingin diketahui sang pemilik rumah. Sesekali ia berjinjit di kala melewati sebuah ruangan seakan setiap pijakannya terdengar seperti letusan bom nuklir.
Gagal. Benar-benar gagal. Usaha yang katanya tidak pernah mengkhianati hasil itu kini telah menjadi serpihan-serpihan kecil sebuah harapan yang hancur seketika saat hoodie berwarna hijau gelap milik gadis itu tertarik ke belakang bersamaan dengan tubuh yang ikut terseret.
“Mau ke mana hah?! Wid, udah berapa kali sih Abang bilang, jangan keluar malem kalo ada petir. Nanti kalo lu kesetrum gledek mau gimana?!”
“Abang ih, Widia kan cuman mau ke taman. Lagian Bang Regar juga belum pulang, kan? Masa Widia yang udah gede gak dibolehin?”
“Regar pergi sama temen-temennya ke puncak, dan pastinya cuman sedikit kemungkinan tuh orang kesambet petir. Besar kemungkinannya tuh orang udah tidur ... Nah elu, jangankan temen, pacar aja nggak punya, segala mau keluar malem-malem. Mending kalo petirnya nyamber pohon dulu baru nindihin dirimu, lah kalo tuh petir langsung nyamber ke arah lo? Cantik-cantik mukanya gosong."
Widia menghela napas pasrah mendengar ceramah di tengah malam dari sepupunya itu. Apa yang salah dari status jomblo? Apa yang salah dari pergi keluar rumah? Apa yang salah dengan petir? Widia rasa tidak ada masalah dengan dirinya. Toh jika dia mati dengan cara tersambar petir, pasti karena itu memang sudah takdir. Dan lagi-lagi harus takdir yang menjadi keputusan akhirnya.
“Terus sekarang gue harus ngapain bang? Lagi pengen nyari angin malem ini.”
Bara termenung seperti tengah memikirkan sesuatu. Jarinya diketuk-ketukkan pada kening seolah sebuah ide akan langsung muncul begitu saja. Tidak cukup dengan itu, kaki yang tadinya berhenti pun kini mulai melangkah ke depan lalu berbalik dan melangkah lagi, begitu seterusnya.
“Stop bro stop! Gue minta pendapat bukan nyuruh lo jadi pengawas singgasana kerajaan, jadi gak perlu mondar-mandir gitu,” tegur Widia yang sudah cukup pusing melihat Bara mondar-mandir sedari tadi tanpa membuahkan hasil sedikit pun.
Bara berhenti, memandang Widia dengan binar kegembiraan yang sangat kentara. “Gue tau apa yang harus lo lakuin, Wid.”
“Apa?” jawab Widia tak kalah semangat.
“Balik ke kamar terus tidur. Inget! Besok kelas lo ulangan, kalo sampe gue liat nilai lo kurang dari 50, siap-siap aja dapet soal tambahan dari gue.”
Bibir mungil itu mencebik kesal ke arah dimana Bara tengah berdiri. Dengan kedua kaki yang dipaksa agar berjalan dengan langkah panjang, Widia mulai berucap. “Sebelum lo ngasih gue remidial, udah bisa gue pastiin nilai 95 yang lo liat.”
Setelahnya tubuh Widia menghilang di balik pintu yang kini tertutup secara perlahan. Bara tersenyum bangga, memang sepupunya itu akan selalu lulus ulangan dengan nilai memuaskan tanpa harus repot-repot belajar.
Berbeda dengan dirinya yang mau tidak mau harus memeras otak hingga mengering supaya semua materi yang diajarkan guru bisa tertempel di kepalanya. Namun prinsip usaha tidak akan mengkhianati hasil sepertinya berpihak kepada Bara. Karena ia sekarang bisa menjadi seorang pengusaha setelah sebelumnya menempuh pendidikan yang sangat menyusahkan jiwa dan raganya.
Terkadang memang sebuah prinsip yang kita buat tidak mesti sesuai apa yang kita harapkan. Seperti orang-orang yang lebih sering mengatakan, realita tidak sesuai dengan ekspetasi. Prinsip pun sama. Dan terkadang takdir pun dengan seenaknya merubah segala rencana yang sudah tercipta menjadi porak poranda tanpa bisa diselamatkan.
Tetapi itulah hidup. Lika likunya harus dimengerti, hambatannya harus dijalani, dan hasil akhirnya harus dinikmati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
De TodoSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...