~Kebanyakan dari mereka hanya ingin bahagia tanpa sudi mengenal luka.
Padahal ... bahagia juga bisa tumbuh dari arti sebuah lara.~Detik per detik telah terlewati, menyisakan menit yang sudah menanti. Matahari yang tadinya bersinar membumbung tinggi, kini berlari menepi menghilang menjauhi bumi. Melihat suasana dari atas awan memang seperti ini, jauh berbeda jika kaki menapaki tanah, lebih berbeda lagi jika tubuh duduk di dalam kapal melihat ombak yang saling berlomba.
Di dalam sebuah pesawat, di kursi penumpang paling belakang, tengah duduk seorang gadis yang kini sibuk dengan lamunannya. Pikiran negatif selalu saja berputar tanpa henti di otak gadis itu. Sulit sekali memang untuk lepas dari pemikiran sialan yang sedari dulu ingin sekali ia lupakan.
Terus saja memandang lurus tanpa minat untuk berkedip. Lamanya perjalanan seperti tak memiliki efek bagi dirinya. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah bagaimana cara dia agar bisa tersenyum bila tiba di Indonesia. Sepele memang, tapi belum tentu ia bisa melakukannya.
Tiga puluh menit berlalu hingga roda pesawat akhirnya bersentuhan dengan tanah. Ia sudah sampai. Sebenarnya enggan untuk melangkahkan kaki, namun karena penumpang di pesawat bukan hanya dirinya sendiri, alhasil dengan terpaksa ia ikut berjalan melangkah dengan penumpang lainnya.
Baru beberapa meter berjalan, langkah gadis itu kembali terhenti. Kakinya dia paksakan untuk terangkat namun hasilnya nihil. Kenapa seperti ini? Padahal sudah sejak jauh-jauh hari ia menyiapkan mental, tapi kenapa tetap tidak bisa? Apa yang salah?
Sebuah tepukan di pundak membuat seluruh tubuhnya terlonjak. Siapa yang berani mengejutkannya?
"Ya salam Paman nih ngagetin aja. Kebiasaan deh," gerutu gadis itu saat mengetahui jika Pamannya yang baru saja mengejutkannya. Pria itu terkekeh sambil memeluk ponakannya untuk melepas segala rindu.
"Maaf Uncle telat jemput kamu Princess, abisnya adek kamu bandel banget segala pengen ikut ke sini," ucap sang Paman sambil berjalan dengan tangan yang menyeret salah satu koper milik gadis itu.
"No problem Uncle."
"Nggak usah ngomong pakai Bahasa Inggris, ribet."
"Hehe, maaf Uncle. Oh iya kenapa Ratih nggak diajak sekalian? Toh juga nggak ngerepotin Uncle, kan?"
"Nggak boleh sama Auntymu, katanya biar cerewetin kamunya di rumah aja, soalnya Ratih sekarang udah banyak ngomong." Gadis itu hanya mengangguk paham sambil terus berjalan mengikuti Pamannya.
Terkadang ia sering dibuat heran dengan tingkah laku keluarga Pamannya ini. Selalu saja menyuruhnya untuk memanggil mereka menggunakan Bahasa Inggris tetapi jika ia berbicara dengan bahasa Inggris mereka tidak mau menjawab. Aneh tapi memang itu kenyatannya.
•••
Sampailah mereka di rumah megah milik lelaki paruh baya itu. Belum sempat melangkah, suara teriakan bahkan tangisan sudah lebih dulu menghampiri mereka. Siapa lagi jika bukan Bibi dan juga Ratih. "Ouh Princessnya Aunty Riva akhirnya kesini juga. Gimana sayang kabarnya? Baik? Sehat, kan? Makannya teratur, kan? Di sana baik-baik aja, kan? Ker ...."
"Iya ... iya Bibi, aku baik-baik aja kok," potongnya yang sudah kewalahan dengan mendengar rentetan pertanyaan dari Bibinya itu. Pandangan gadis itu lalu tertuju pada gadis kecil di gendongan Riva yang sedari tadi terus menjulurkan tangannya dengan derai air mata.
"Ulululu ... Ratih dikacangin, ya? Sini-sini Kakak gendong." Dengan senyum lebar Ratih langsung memeluk erat gadis itu seakan-akan dirinyalah yang paling disayang. "Masuk yuk, Bara juga belum bangun dari tadi," ajak Riva yang langsung disetujui semuanya. Mereka pun akhirnya masuk dan menjalani rutinitas seperti biasanya, sesekali juga saling bertukar cerita selama mereka hidup berjauhan.
![](https://img.wattpad.com/cover/177654361-288-k801415.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...