Bab 6 | Vanilla Ice Cream

145 19 1
                                    

~Cukup es krim saja yang mudah meleleh, hatimu jangan!~

Sejak pagi tadi Nadia hanya mengeluh. Hari ini hari Minggu, dan dia tidak memiliki kegiatan. Sebelumnya ia sempat mengajak ketiga sahabatnya untuk jalan-jalan, tapi tiga gadis gila itu memiliki acara keluarga sendiri-sendiri. Dan, yah ... dia sekarang bosan.

Sempat terpikir untuk mengajak keluarganya berlibur, tapi melihat kerjaan papanya yang sudah seperti menara itu membuatnya mengurungkan niat. Ia tidak mau merepotkan papanya hanya demi menghalau rasa bosan di dalam tubuhnya yang sama sekali tidak penting itu.

Papa? Iya, Nadia memiliki ayah tiri setelah kematian ayah kandungnya, dan beruntung ayah tiri Nadia sangat menyayangi gadis itu layaknya anak kandung sendiri.

"Es krim ... enak, murah, sehat, rasa cokelat, rasa vanila, ras-."

"Mang, beli es kriiim ...," teriak gadis itu saat suara anak kecil berkeliaran di indra pendengarannya. Ia ingin es krim ... Ia ingin es krim. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih dompet di atas mejanya dan berlari keluar kamar.

Nadia terus berlari menuruni tangga yang anehnya terasa sangat panjang, padahal biasanya gadis itu sangat cepat sekali jika berjalan menuruni tangga. Napas gadis itu pun naik turun tak teratur, pikirannya hanya satu ... dapat mengejar kang es krim yang berhasil membuatnya tidak bosan lagi.

"Mang, beli es kriiim ...."

"Maaang ...."

"Nadia mau beli maang ...."

Nadia terus berlari sambil memanggil tukang es krim yang sialnya sudah tak terlihat oleh kedua matanya itu. Namun tiba-tiba, sebuah motor sport berjalan lambat tepat di samping Nadia, membuat gadis itu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

Hingga ingatannya kepada tukang es krim itu muncul kembali. "Lo ngap-."

"Tolongin gue, gue nebeng sampai sana oke." belum sempat lelaki itu menyelesaikan ucapannya, Nadia sudah lebih dulu memotong dengan langsung melompat ke atas jok penumpang di belakang cowok itu.

"JALAN CEPET!"

Sontak saja cowok di hadapan Nadia itu langsung menancap gas motornya menjadi sangat cepat, membuat Nadia hampir terjengkang jika saja tangan kiri cowok itu tidak menarik lengannya hingga dia membentur punggung si cowok dan dengan spontan melingkarkan tangan di perutnya.

"Jangan cepet-cepet gue takut ...," rengek Nadia lirih sambil memeluk erat pinggang cowok yang kini berada di depannya itu. Tapi bukannya khawatir, cowok itu malah tersenyum dan perlahan mengelus punggung tangan Nadia. Dasar mencari kesempatan.

"Katanya tadi suruh cepet, hmm?"

"Nggak jadi, pelan-pelan aja."

Cowok itu terkekeh sambil terus memegang pungung tangan Nadia yang berada di depan perutnya. Hingga cowok itu teringat akan suatu hal ....

"Lo tadi minta dianterin ke mana?"

"Ngejar kang es krim."

Motor yang mereka tumpangi tiba-tiba berhenti. Ah tidak-tidak, lebih tepatnya direm secara mendadak oleh cowok itu, membuat Nadia terkejut bukan main. "Kenapa berhenti?"

"Lo tau? Kita udah nyalip kang es krimnya sejak gue tancap gas tadi ...." Nadia terdiam sebelum akhirnya .... "Yaaah kok gitu."

"Kita puter balik aj-."

"Nggak, nggak usah. Lo lanjut jalan aja, biar gue tunggu di sini, maaf tadi ngerepotin."

"Gue tadi cuma jalan-jalan kali, nggak ada urusan juga." Cowok itu turun dari motornya dan ikut duduk bersama Nadia di kursi dekat trotoar.

"Kirain tadi ada urusan. Ah iya, makasih, dan nama lo?"

Tak mendapat jawaban dari pria itu membuat Nadia sedikit tidak enak. Bahkan uluran tangannya tidak dibalas. Apa dia tidak ingin berkenalan dengan Nadia? Tapi apa sebabnya?

"Lo nggak mau kenalan ya sama gu-."

"Gue Zena, cantiiik ...," ucap cowok itu sambil mencubit pelan hidung Nadia menandakan jika dirinya gemas. Dan Nadia ... oh tentu gadis itu seakan ingin terbang melayang di angkasa. Seumur-umur dia belum pernah merasakan dicubit hidungnya oleh seorang lelaki, dan ini untuk kali pertama ia merasakannya.

"Kok diem? Nama lo siapa?"

Nadia mengerjapkan mata. Tersadar, ia kemudian tersenyum dan mulai berucap, "gue Nadia."

Melihat Nadia tersenyum membuat Zena ikut tersenyum juga, dasar remaja, dunia serasa milik berdua saja. Lama mereka saling tatap, hingga tanpa sadar tukang es krim yang tadi ditunggu lewat begitu saja di depan mereka tanpa mengucapkan apa pun.

"Pak, beli es krim!" Suara anak kecil di seberang jalan akhirnya mampu membuat Zena dan Nadia tersadar. Mereka pun saling memandang sebelum akhirnya terkekeh dan berjalan mendekati tukang es krim tadi.

"Kalian berdua udah puas tatap-tatapannya?" tanya si bapak yang langsung membuat keduanya salah tingkah, siapa yang tidak merasa malu jika tertangkap basah sedang tatap-tatapan seperti tadi?

"Bapak apaan sih ... es krimnya dua ya, Pak." Tukang es krim itu terkekeh dan mengangguk. "Rasa apa?"

"Vanila," ucap keduanya yang entah kebetulan atau memang memiliki kesukaan rasa yang sama.

Ingat! Hanya sekedar rasa es krim, bukan rasa yang dulu pernah ada namun hilang bersama janjinya yang diingkari!

Si bapak pun hanya bisa menggeleng melihat keunikan pasangan di hadapannya itu. Ia lebih memilih melayani anak kecil yang tadi beli terlebih dahulu kemudian membuatkan es krim untuk mereka berdua.

"Ini es krimnya, Mas, Mbak."

Nadia menerima es krim itu dan merogoh sakunya lalu memberikan uang kepada si bapak tanpa membiarkan Zena membayarnya. "Kelebihan, Mbak."

"Buat Bapak aja, makasih ya, Pak."

"Terima kasih kembali Mbak, Mas, kalau begitu saya lanjut jualan." Keduanya pun hanya mengangguk dan berjalan kembali ke kursi yang tadi mereka duduki.

"Makasih udah dibeliin."

Nadia tersenyum dan mengangguk. "Makasih juga udah dianterin." Kini giliran Zena yang mengangguk.

Bahagia memang sesederhana itu, hingga membuat mereka lupa waktu. Namun, Nadia baru sadar, sepertinya ia pernah melihat cowok di hadapannya itu. "Bentar deh ...."

Astaga, Nadia ingat sekarang. Zena itu kan salah satu teman Regar yang kemarin membuat ulah dengan dia dan ketiga sahabatnya. Kalau Listi tahu, sudah pasti gadis itu akan langsung menceramahinya selama 7 hari 7 malam tanpa jeda.

"Kenapa? Iya gue temennya Regar, jangan kaget gitu dong mukanya." Mendadak Nadia merinding, dan dengan kecepatan penuh ia langsung berlari meninggalkan lelaki itu tanpa sadar jika dompetnya masih tergeletak di atas kursi.

"Lo nggak bakal bisa lari, Nad. Dompet lo ada di tangan gue," ucap Zena sambil tersenyum dan beranjak menuju motornya. Ia pun menyalakan motornya dan pergi dari tempat itu. Oh astaga, bagaimana hidup Nadia kedepannya? Semoga saja tetap sehat wal afiat.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang