Bab 2 | Aku Ya Aku

307 22 2
                                    

~Teruntuk para orang tua, mohon perlakukan anak-anak anda dengan adil!
Percayalah, dibeda-bedakan itu menyedihkan!~

     Seorang gadis kini tengah mengobrak-abrik isi almarinya yang dipenuhi dengan pakaian gadis itu. Sedari tadi tangannya tak berhenti untuk mengeluarkan satu persatu pakaian demi mendapatkan baju dan rok yang sampai sekarang belum juga terlihat.

     Gadis itu adalah Listi. Sudah sekitar tiga puluh menit ia berdiri di depan almari, rasa kesal pun turut serta di dalam benaknya karena tak kunjung menjumpai seragam yang ia cari sejak tadi. Padahal sudah susah payah ia melipatnya dan sekarang harus berantakan kembali? Oh astaga. Tapi Listi tidak peduli, yang terpenting pakaiannya ketemu dan akan langsung ia pakai, karena sebentar lagi gerbang sekolah ditutup.

     Sebenarnya tidak masalah jika gerbang sudah tertutup, toh dia juga sering datang terlambat. Tapi hari ini adalah hari Kamis, hari dimana ia harus melaksanakan piket. Listi tidak mau jika uang sakunya terpotong hanya untuk membayar denda. Percayalah, Listi bukan anak konglomerat yang dengan entengnya bisa mengeluarkan uang untuk segala hal.

     "Mah! Mamah!" teriak Listi dengan suaranya yang sangat kencang hingga mungkin tetangga sebelah dapat mendengar teriakan itu.

     "Apa sih Ti teriak-teriak?" jawab Lusy ibunda Listi yang sepertinya sedang berjalan menuju arah kamarnya. Benar saja, tak lama setelah itu pintu terbuka dengan kasar dan langsung menampilkan sosok wanita paruh baya yang datang dengan tampang ... kesal?

     "Baju pramuka Listi nggak ada, Mah." Listi tertunduk lesu di tepian ranjang mencoba menghilangkan penat sekaligus menyembunyikan ketakutannya saat melihat emosi sang mama yang mulai meluap. Meskipun Listi sudah sering melihatnya, tapi entah mengapa rasa sakit itu selalu muncul, seharusnya dia sudah terbiasa, 'kan?

     "Mata kamu di mana sih, Ti? Baju digantung di atas pintu kenapa nggak liat? Dan kenapa isi lemari diberantakkin? Ini masih pagi jangan buat Mama muak!" kata Lusy sambil menuju gantungan baju yang ada di atas pintu dan melemparkannya ke arah Listi tanpa tahu jika anak gadisnya itu menahan takut luar biasa.

     "Kalo naruh barang itu di tempatnya, sesekali nggak minta tolong kenapa sih? Latihan mandiri, kayak kakak kamu tuh, dari kecil dia nurut apa kata Mama, nggak kayak kamu!" Hati Listi serasa tertampar ketika dirinya kembali dibandingkan dengan sang kakak. Apa salah Listi hingga dirinya selalu dibandingkan seperti ini? Terlebih kalimat sang mama yang sangat menusuk hati Listi secara perlahan.

     Apa kalian pernah merasa selalu dibandingkan? Bagaimana perasaan kalian? Jika sakit, maka itulah yang Listi rasakan saat ini.

     Lusy pun memilih pergi dari kamar Listi dan meninggalkan anaknya yang kini mulai merenung mencoba tersenyum dan tidak peduli dengan ucapan mamanya tadi.

     "Listi nggak bisa kayak kakak, Ma. jalan hidup Listi beda, Listi mau jadi diri Listi sendiri, kenapa sih cuma ayah yang paham sama keadaan gue?" ucap Listi lirih meminta keadilan. Jujur ia sangat rapuh jika diingatkan tentang keluarganya, hatinya tidak sanggup menopang segala lara hingga terkadang ia harus merasakan sakitnya jiwa dan raga secara bersamaan.

     "Aku ya aku!"

     Listi akhirnya bangkit dan meraih tas di meja belajarnya lalu beranjak keluar dari kamar. Tepat di saat dirinya berjalan menuruni tangga, ia sudah diperlihatkan dengan sebuah keluarga kecil yang tengah sarapan bersama. Sesekali canda dan tawa mengiringi harmonisnya keluarga itu, membuat ia sedikit merasa tak dianggap. Sebenarnya Listi ingin sekali bergabung di tengah-tengah mereka, namun ia tahu jika hal itu hanya akan memperburuk suasana. Jadi lebih baik ia tidak mengikuti keinginan buruknya itu.

     Listi beralih menatap ke arah ayahnya, memerhatikan dengan seksama wajah sang ayah yang kini tengah memasang ekspresi datar tanpa tertarik dalam perbincangan hangat mama dan kedua kakaknya. Listi tahu posisi yang pantas untuk sang ayah, dan yang pasti bukan di sana, melainkan di samping putri kecilnya, yaitu Listi.

     "Listi berangkat, assalamualaikum," pamit Listi tanpa menoleh sedikit pun ke arah keluarga bahagia itu dan memilih tetap berjalan lurus berharap pintu rumahnya bisa sedikit maju hingga jarak yang harus ia tempuh lebih pendek.

     "Waalaikumsalam," ucap mereka bersamaan dengan tatapan yang berbeda-beda.

     "Kebiasaan tuh anak," gerutu Marcel kakak ipar Listi sambil memutar kedua bola matanya. Lintang kakak kandung Listi yang setuju dengan ucapan sang suami pun mengangguk-anggukkan kepala. Lihat? Bahkan kedua kakaknya saja membenci Listi.

•••

     Sesampainya gadis itu di sekolah, suasana sudah cukup ramai. Siswa-siswi yang datang juga semakin banyak. Listi yang masih berada di luar gerbang pun langsung menancapkan gas motornya dan mengerem secara perlahan untuk menyapa Pak Mustopa—satpam sekolah—yang kini sedang berdiri di samping gerbang.

     "Pagi, Pak Mus."

     "Pagi kembali Neng Listi, tumben udah berangkat?" balas Pak Mustopa dengan wajah terheran-heran. Memang kedatangan Listi pagi ini pantas untuk diherankan, karena biasanya gadis itu akan berangkat saat gerbang nyaris ditutup, tapi seringnya dia berangkat jika gerbang sudah tertutup rapat.

     "Habis diruqiah Pak semalam," jawab Listi asal dengan senyum lebarnya walaupun wajah gadis itu tertutup oleh helm.

     "Neng Listi ada-ada saja, ya sudah Neng, silakan masuk," ucap Pak Mustopa pada akhirnya. Listi pun hanya menganggukkan kepala lalu kembali menjalankan motor menuju parkiran setelah sebelumnya sempat menglakson Pak Mustopa.

     Sampai di area parkir. Listi tidak langsung turun dari motor, melainkan duduk terdiam dan mencermati setiap sudut sekolahnya yang baru ia sadari jika tampilannya cukup bagus.

     SMA yang Listi masuki ini adalah sekolah favorit dan cukup populer. Fasilitasnya yang mencukupi menjadikan pelajar nyaman menuntut ilmu di gedung bernuansa putih abu-abu yang interiornya sangat menggambarkan masa remaja.

     Tata letaknya yang berdekatan dengan taman kota menjadikan sekolah itu terasa sejuk. Sungguh SMA ini sangat mendekati kata 'sempurna' menurut kebanyakan pelajar bahkan hampir semua orang mengatakan hal itu.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang