Lama sekali sejak Regar berdiri membeku di samping brankar, pasien yang kini terbujur lemah itu sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda positif. Sebagai seorang dokter, tidak selayaknya ia menunggu seorang pasien yang bahkan sudah ditunggu oleh keluarganya sendiri. Tapi lain halnya dengan Regar, pria itu sama sekali tidak berniat untuk keluar dari ruangan, jangankan keluar, duduk di kursi saja dia tidak minat.
"Gar, kamu kerja saja dulu, obati pasien yang lain, kalau sudah selesai baru ke sini lagi."
"Nggak, Om. Gara mau di sini aja, lagian masih banyak dokter lain yang bisa ngobatin pasien, nggak hanya Gara."
Pria tua itu menepuk pelan pundak Regar, sedikit tersenyum untuk meyakinkan. "Udah dewasa, 'kan? Harusnya udah tahu yang namanya profesionalitas dalam bekerja. Kamu nggak boleh seenaknya kayak gini, Gar. Biar bagaimanapun kamu itu ditugaskan untuk merawat semua pasien, tidak pandang bulu."
Regar menunduk, tangannya ia tautkan lalu menghela napas pelan. Dengan segera ia kembali mengangkat kepala menghadap pria tua itu, memberi senyuman tulus diiringi dengan anggukan pelan. "Gara mengerti, Om." Ayunan tangan dari Regar disambut dengan bangganya, tak lupa Regar juga mencium tangan beliau sebelum pergi keluar ruangan. Ya, dia sudah harus berpikir dewasa.
°°°
Hujan di kala itu mengingatkannya pada setetes peristiwa yang mampu membuat hati kecilnya serasa tertusuk-tusuk oleh ribuan bunga mawar yang berduri tajam. Setelah semua berlalu dan pergi menjauh, kesendirian mulai menjadi teman sejatinya yang mungkin akan terus seperti itu hingga sampai kapan pun.
Mencoba membuka lembar baru? Hanya percuma. Di saat kertas putih telah terbentang, di saat itu pula titik demi titik noda mulai menempel, selalu seperti itu dan akan terus seperti itu. Putus asa yang dia rasakan. Menanggung beban sendiri sangatlah melenceng jauh dari bayangan di dalam pikiran. Berat rasanya, bahkan untuk sekedar mengatakan 'aku tidak sanggup' saja sulit.
"Permisi Non, di bawah ada tamu yang membawa Non Ratih dari taman, katanya tadi Non Ratih jatuh." Ucapan pembantu rumah tangga yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu mampu membuyarkan lamunan Widia tentang semua masalalunya.
Widia terkejut saat mendengar kata 'jatuh' yang diucapkan oleh pembantunya itu, apalagi Ratih-sepupunya sendiri yang mengalaminya. Tanpa memedulikan apa pun, Widia langsung berlari menuju tempat Ratih sekarang.
Namun, langkah yang semula panjang dan cepat kini mendadak hilang saat kedua kaki Widia berhenti melangkah dengan tiba-tiba. "Elo!" Lelaki di sebelah gadis manis itu mendongakkan kepala dan terkejut saat melihat Widia ada di rumah ini.
Tidak lain, tidak bukan, pria yang menolong Ratih tadi adalah Manaf. Orang yang sama dengan korban kencelakaan yang waktu itu ditolong oleh Regar. Kebetulan saat Manaf sedang berjalan di taman, ia melihat Ratih yang terjatuh di tempat tidak jauh dari posisinya.
Berbeda dengan Widia yang kini menutup mulutnya dengan mata yang berair. Ratih malah menatap Widia dengan senyum termanis yang belum pernah Widia lihat sebelumnya.
"Kak, Kakak kenapa nangis? Kenapa, Kak? Atih nakal, ya?" tanya gadis kecil yang masih cedal itu dengan raut wajah cemasnya. Widia tersenyum lebar, benar-benar senyuman tulus yang jarang sekali ia perlihatkan. "Ratih nggak nakal kok, ada yang sakit?" Gadis kecil itu menggeleng pelan.
"Sini Kak, Atih peluk." Baru ingin mendekatkan badan kepada Widia, Ratih tiba-tiba berhenti dan memandang Manaf penuh makna. "Abang."
"Iya?"
"Abang mau ya peluk Kak Widia, kalau Atih yang peluk, tangannya nggak bisa ngelus kepala Kak Widia, kan tangan Atih pendek."
Kedua pasang mata itu kompak terbuka dengan lebar saat mendengar ucapan dari Ratih yang sangat berbahaya bila dilakukan. "U-udah sayang, Kakak udah nggak nangis kok, tuh liat nggak ada air matanya, 'kan?"
Ratih menggeleng sangat cepat. "Nggak, Kak Widia halus dipeluk Abang Manaf dulu, kalo enggak Atih bakalan ngambek sama kalian!"
Kesempatan bagi Manaf, ia yang mendengar ucapan Ratih itu pun langsung menyeret lengan Widia dan membawanya ke sofa agar bisa memeluk dengan erat sambil mengelus pucuk kepala gadis itu. "Nih Abang udah peluk Kak Widia, 'kan? Jadi Ratih jangan ngambek, ya?" Ratih tersenyum dan mengangguk lalu merangkak menyelipkan badan di antara Manaf dan Widia.
"Kak Widia jangan nangis lagi, ya? Atih sayang sama Kak Widia, nggak pa-pa Mama sama Papanya Kak Widia jahat sama Kakak, Kakak tinggal di sini aja, nggak bakal ada yang bisa jahatin Kakak lagi!"
Melihat wajah Widia yang sangat murung membuat Manaf mencoba mengalihkan pembicaraan Ratih. Ia berusaha untuk tidak menanyakan masalah ini di depan Ratih yang pada dasarnya masih seorang anak kecil. "Ratih, mau nin Bang Manaf ambil minum?"
"Atih yang ambilin aja Bang, Abang tunggu sini." Manaf hanya bisa mengangguk. Setidaknya Ratih sudah lupa akan ucapan yang sangat berdampak buruk bagi Widia tadi. "Udah nggak usah dipikirin lagi." Widia menolehkan kepala ke sampingnya dan tersenyum saat melihat Manaf yang juga tersenyum.
"Cie peduli."
"Mati aja lu sono!"
"Lah kok ngamok?" Widia terkekeh saat mendapati raut wajah Manaf yang berubah sangat drastis dibandingkan dengan beberapa detik yang lalu. Tak lama setelah itu, Ratih kembali dengan membawa satu gelas jus jeruk yang terlihat begitu menggoda.
"Makasih dek." Baru ingin mengambil alih gelas yang digenggam oleh Ratih, tangan Widia sudah lebih dulu digigit dengan kencangnya oleh Ratih sambil menjauhkan gelas itu dari jangkauan sang Kakak.
"Aduhh dek sakit, kok Ratih nakal, sih?!"
"Kak Widia yang nakal, ini buat Bang Manaf, bukan buat Kakak," balas Ratih yang diakhiri dengan memeletkan lidah kecilnya kepada Widia. "Makasih Ratih, maaf ya Abang udah ngerepotin kamu."
Ratih hanya mengangguk singkat lalu merangkak naik ke atas sofa dan langsung duduk di pangkuan Widia. "Kak temenin Atih bobok yuk."
"Yaudah yuk ke kamar, kita bobok sekarang." Ratih langsung melompat-lompat kegirangan mengutarakan rasa gembiranya lalu menjatuhkan badannya kembali pada paha Widia.
Keduanya kini pergi ke kamar dengan meninggalkan Manaf sendirian. Dan karena bingung harus berbuat apa, Manaf pun ikut saja ke kamar Ratih, hitung-hitung halu sebagai seorang ayah.
Setelah cukup lama, akhirnya Ratih dapat tertidur damai. Tiada hal yang lebih baik bagi Widia selain melihat gadis kecilnya itu bahagia. Ya, harapan Widia satu-satunya kini hanya ada di keluarga Ratih. Widia hanya ingin dirinya bahagia tanpa merasakan beban berat seperti dulu.
"Widia." Widia terkejut saat mendengar suara bass milik Manaf yang kini sudah duduk di sampingnya entah sejak kapan. "Eh, apaan?"
"Lo kenapa? Masih mikirin ucapan Ratih tadi?"
"Udah sore, sana pulang. Makasih udah nolongin Ratih."
"Gue nggak suka ya sama orang yang ngalihin pembicaraan."
"Gue juga nggak suka ya sama orang yang pengen tahu urusan orang lain."
"Kesel gue sama lo."
"Gue lebih kesel sama lo."
"Terserah! Gue pulang."
"Hati-hati, Manaf." Mendengar suara Widia yang tiba-tiba melembut, membuat langkah Manaf terhenti saat itu juga, tanpa sadar seulas senyum terbit di bibirnya.
Manaf pun memutuskan untuk berbalik badan. Mendekat ke arah Widia lalu membungkuk setelah sebelumnya sempat mengacak pelan rambut gadis itu. "Ini baru langkah awal buat gue dapetin hati lo, cantik." Setelahnya Manaf berjalan pergi dengan cepat. Saat sudah di balik pintu, Manaf baru berteriak. "Gue pamit pulang!"
Siapa peduli, Widia sudah tidak bisa fokus lagi sejak bisikan itu masuk ke dalam telinganya. Apa yang dikatakan Manaf tadi sungguhan? Oh, Tuhan, Widia harus bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
AlteleSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...