Bunyi lonceng pertanda seseorang membuka pintu di cafe minimalis itu membuat seorang wanita cantik yang baru saja sampai di dasar tangga menyunggingkan bibir.
Di kasir sana, seorang pria memutar bola matanya malas. Agaknya cemburu. "Lo mau ke mana, Nad?" Zena, dia bertanya sambil melayani pelanggan yang baru saja membayar segelas kopi.
Sedangkan Nadia, gadis itu mendekat ke arah Zena setelah sebelumnya sempat menggandeng tangan pengunjung tadi yang tak lain adalah Angga. Nadia menyerahkan sebuah pin berlogo bintang kepada Zena, membuat pria itu mengernyit heran.
"Lo gantiin urusan gue bentar di ruangan! Gue mau ketemu klien dulu."
"Sama dia?" Pandangan Zena terarah pada Angga yang kini juga tengah menatapnya balik dengan heran. "Ya iyalah. Pertanyaan lo nggak penting banget deh, Zen."
"Selow, Bos. Udah sono pergi!"
"Kurang ajar, lo! Ya udah kita pergi, jaga cafe baik-baik!"
"Hem."
Nadia tidak ambil pusing, ia lalu mengajak Angga untuk segera pergi dari tempat itu. Memasuki mobil berwarna putih milik Angga dan melesat membelah jalanan kota. Lima tahun berlalu membuat kota Jakarta banyak sekali mengalami perubahan.
Tak heran, karena Jakarta merupakan kota yang diisi oleh para pebisnis dan pekerja hebat yang mampu meningkatkan kinerja menjadi lebih berkembang. Mungkin beberapa puluh tahun ke depan, dunia akan serba canggih, mengingat sekarang sudah banyak robot-robot yang diciptakan oleh para profesor demi membantu meringankan pekerjaan manusia.
Beralih pada Nadia. Kini wanita dua puluh dua tahun itu sudah mulai berjalan memasuki sebuah kantor bersama sang suami—Angga. Mereka terus saja berjalan dan memberitahukan kedatangannya kepada seorang sekretaris bos yang kebetulan baru saja keluar dari ruangan atasannya.
"Wah, Mbak Nadia sudah datang. Silakan masuk, Mbak! Bu Bos sudah menunggu di dalam."
Nadia tersenyum lalu mengangguk, kembali berjalan memasuki ruangan bercat putih tulang itu yang kini sedang ditempati oleh seorang wanita muda berpipi tembem.
"Selamat datang, Chef."
"Ngomong sekali lagi, gua gampar muka lo!"
Wanita itu nampak terkekeh dan mempersilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia. "Tunggu Sefita datang, ya. Kita bakal ada proyek besar-besaran."
Nadia mengangguk, begitu juga dengan Angga. Cukup lama mereka menunggu, sekitar satu jam lebih, dan akhirnya Sefita pun datang. Bergandengan bersama suami tercinta, Eksa. Kedua orang itu baru saja menikah sekitar dua bulan yang lalu, maklum, masih romantis-romantisnya.
Setelah masuknya pasangan suami istri tadi, kini muncul seorang pria tampan yang datang seorang diri dengan jas putih yang tersampir di lengan kanannya. "Wih, Pak Dokter jadi ikut toh? Tumben banget."
Pria yang di sebut sebagai 'Pak Dokter' oleh Eksa tadi langsung melemparkan jas putihnya ke arah Eksa yang beberapa detik lalu baru saja duduk. Tidak marah, pria itu malah tertawa sambil memberikan uluran lidah pertanda mengejek.
"Tumben, Gar, lo ikut?" tanya Vina yang kini mulai menghubungi kekasihnya—Fandi. Tak mau dikira jomblo oleh para sahabatnya. "Setelah gue pikir-pikir, ada gunanya juga gue ikutan bisnis ini."
Mereka semua mengangguk puas, turut bahagia karena Regar sudah terlihat lebih baik dari yang sebelumnya. Ya meskipun tidak berubah banyak, tapi setidaknya ada peningkatan.
"Oke, kita mulai aja. Itu Fandi juga udah datang."
Nadia mulai menatap Vina memberi kode supaya wanita itu memulai pembahasan. Tentu saja Vina paham, ia pun mengangguk menyetujui.
"Jadi, produk yang bakal kita buat adalah barang-barang seputar dunia kesehatan. Kita bakal bikin obat-obatan dengan resep buatan dari rumah sakitnya Regar, terus kursi roda. Untuk kursi roda biar gue sama Fandi yang urus."
"Gue sama Eksa bakal bikin barang-barang yang terbuat dari kain," usul Sefita karena memang dirinya kini berprofesi menjadi seorang penjahit yang cukup terkenal.
"Jadi yang mantau proses pembuatannya Angga sama Nadia. Setiap hari!"
Nadia memutar bola mata malas namun pada akhirnya tetap mengangguk saja. Ia sekarang juga terbilang cukup sibuk, tidak mungkin ia dapat membantu mereka dengan full time.
Pembahasan pun kembali berlanjut, sampai pada saatnya terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Vina beranjak membukakan pintu, tersenyum saat melihat sekretarisnya yang datang dengan beberapa map di tangan.
"Permisi, Bu. Maaf mengganggu, ada salah satu konsumen yang ingin memesan produk kita dengan jumlah cukup banyak. Beliau sudah menunggu di bawah."
"Antarkan beliau kemari saja."
Wanita itu mengangguk lalu kembali berjalan meninggalkan ruangan, hendak memanggil sang tamu. Sedangkan Vina, wanita itu kembali duduk di sebelah Fandi yang kini mulai memeriksa tumpukan map di hadapannya.
"Permisi."
Satu detik, dua detik, tiga detik.
Tak ada yang menyahut, pandangan mereka mendadak kosong. Apakah benar wanita di hadapan mereka saat ini adalah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...