Kemacetan di kota Jakarta bukan lagi hal yang istimewa. Padatnya jalan yang diisi oleh berbagai macam kendaraan seolah menjadi makanan sehari-hari bagi setiap pengendara yang hendak beraktivitas. Satu detik telah berlalu, lampu pelangi yang berdiri tegak di kanan jalan itu mulai berganti hijau setelah sekian lama memerah. Begitulah kata Widia, menyebut lampu TL, dengan sebutan pelangi.
Ya meskipun bisa dinalar ... tetapi ... ah sudahlah biarkan saja Widia menyebutnya seperti itu, toh ia juga tidak akan terkena pasal pencemaran nama baik.
“Inget ulangan!”
Widia menoleh menjeda sejenak kegiatan membaca novelnya. Terkadang ia heran, kenapa masih ada lelaki seperti sepupunya yang sangat mementingkan pelajaran dibandingkan dengan hal-hal lainnya. Padahal sepupu satunya lagi—Bara—saja terlalu masa bodoh dengan ilmu pengetahuan. Mungkin yang mengisi pikiran lelaki itu hanyalah beribu-ribu botol minuman keras dengan jenis rasa yang beraneka macam. “Diem ae lo, denger kagak omongan Abang barusan?”
“Iya iya denger. Ribet amat idup lu Bang."
Pembicaraan mereka terhenti begitu saja saat sebuah motor sport berwarna hijau di hadapan mobil mereka terserempet oleh sebuah mini bus yang melaju sangat kencang. Bukannya berhenti dan meminta maaf, supir mini bus itu lebih memilih kabur seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dengan segera sepupu Widia menepikan mobilnya di pinggir jalan dan keluar dari mobil untuk menghampiri si pengendara motor.
“Yang nyerempet siapa yang nolongin siapa, untung abang gue baiknya gak ketulungan.”
Dasar Widia ini. Bukan sepupunya yang terlalu baik, tetapi dia saja yang terlewat cuek. Jelas-jelas di sana ada beberapa pengendara lain yang juga ikut membantu. Bahkan ada juga yang rela berhenti hanya demi sebuah bidikan foto dan pastinya akan langsung diposting ke sosial media.
Widia terkejut saat tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di kaca mobil yang langsung membuatnya menoleh untuk menurunkan kaca supaya dirinya bisa melihat siapa yang mengetuk tadi. “Kenapa?”
“Pindah belakang!”
“Lah?”
“Buruan jangan banyak nanya!”
Dengan dengusan kasar yang keluar dari hidung pesek milik Widia, ia pun akhirnya keluar dari mobil dan berpindah tempat ke jok belakang. “Lah?”
Keterkejutan kembali menyapanya di saat ia menyadari ada seorang lelaki yang memakai seragam SMA sama seperti yang ia pakai tengah duduk lemas di sampingnya dengan beberapa lebam dan juga luka di tubuh pria itu. “Bang in—.”
“Obatin Wid, dia satu sekolah sama lo.”
Dengan pikiran yang masih bingung, ia pun akhirnya mulai membuka kotak P3K dari dalam tasnya dan meraih lengan kekar pria itu untuk diobati. “Bro, matanya minta dicolok?”
“Ehh eng-enggak Bang, abisnya adek Bang Regar gemesi ... aww sakit!”
Sengaja Widia menekankan kapas yang sudah mengandung obat merah itu dengan kuat di siku pria itu hingga membuatnya meringis kesakitan.
“Sakit dek, pelan-pelan dong.” Raut wajah pria itu terlihat sangat kesakitan. Salahkan saja mulutnya yang membuat Widia merasa kesal. “Jangan panggil gue dek!”
“Galak amat lu Wid jadi orang... Namanya Widia Naf, jangan manggil dek lagi, bisa-bisa lo kena santet sama tuh bocah.”
“Oalah Widia, cantik kayak orangnya.”
“Apa perlu gue tempelin poster di seluruh kaca nih mobil dengan tulisan bucin dilarang masuk?”
“Nggak perlu Wid, karena nanti ujung-ujungnya juga pasti gue langgar.”
“Gausah sok kenal lu jadi orang!”
“Kenalan dong kalo gitu.”
“Pentingnya buat gue?”
“Lo bisa jadi satu-satunya cewek yang gue kenal tanpa harus ngemis-ngemis kek cabe-cabean.”
“Heh Beruang padang pasir, gue nggak kenal sama lo aja masih bisa idup, jadi gaada gunanya juga buat gue kenalan sama manusia kayak lo!”
“Udah ributnya! Noh sekolah nungguin dari tadi,” lerai Regar yang tanpa sadar sudah memberhentikan mobil di parkiran sekolah. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Widia langsung keluar dari mobil meninggalkan Regar dan pria itu yang baru ingin membuka pintu.
Menurut Widia, hari ini adalah hari tersial seumur hidupnya. Aahh tidak tidak, hidup Widia sudah sial sejak dirinya lahir.
Setelah kedua remaja itu masuk ke dalam gerbang sekolah, ponsel milik Regar berbunyi menampilkan tulisan 'Uncle'. Melihat itu membuat Regar langsung mengangkat panggilannya. "Halo, Uncle."
"..."
"Iya, Uncle, Widia udah Regar anterin. Ini Regar lagi mau jalan ke rumah sakit."
"..."
"Sama-sama, Uncle. Iya, Regar hati-hati kok nyetirnya."
Tak lama setelah itu panggilan pun berakhir, menyisakan foto sepasang anak kecil yang tengah tersenyum bahagia. "Cepet balik, gue kangen." Menutup ponsel lalu kembali mengemudikan mobil, Regar akan menuju rumah sakit untuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...