Siang ini hujan mengguyur dengan derasnya, petir juga sesekali muncul menandakan bahwa hujan kali ini benar-benar menyeramkan. Tak jauh dari sekolahan, pohon besar tumbang menghalangi jalan raya. Membuat beberapa kendaraan terpaksa berhenti karena tidak dapat melintas.
Beberapa murid berlarian keluar dari gerbang hendak melihat kejadian itu. Ada juga yang berkumpul di pagar pembatas lantai tiga karena terlalu malas berjalan keluar. Bahkan tak kelewatan, juga ada murid-murid yang memilih berlari ke rooftop sekolah demi melihat secara keseluruhan dengan jelas. Memakai payung masing-masing, beberapa ada yang memakai jas hujan.
Tapi tunggu ... sepertinya ada korban dalam kejadian tumbangnya pohon besar itu. Nadia, Sefita, dan Vina yang ikut berlari ke luar gerbang tadi pun mencoba mendekat karena merasa tidak asing dengan mobil hitam yang bagian depannya sudah hancur tertimpa batang pohon.
Mereka melihat seorang lelaki yang dibopong keluar dari dalam mobil dan juga seorang perempuan yang digendong oleh satpam sekolah karena tampaknya wanita itu pingsan.
Mata ketiga gadis itu terbelalak bersamaan dengan teriakan melengking yang memanggil nama si wanita itu. Sontak saja semua orang yang ada di sana menoleh ke arah mereka bertiga dan mulai penasaran. Apakah ketiga gadis itu kenal?
"Ta, Nad. Lo berdua susul tante ke rumah sakit. Gue mau izin dulu ke kepala sekolah sama ngajak Listi."
Nadia dan Sefita mengangguki ucapan Vina. Mereka pun buru-buru mengambil motor masing-masing dan mengejar taksi yang tadi membawa dua korban ke rumah sakit.
Sedangkan Vina yang baru selesai meminta izin pada kepala sekolah langsung berlarian di koridor ingin cepat-cepat menemui Listi. Namun di tengah jalan, dirinya ditabrak oleh seseorang yang sekarang sudah kembali berlari tanpa meminta maaf padanya terlebih dahulu.
Vina ingin marah, tapi sekarang bukan saatnya. "Sayang, kamu nggak pa-pa, 'kan? Maafin tuh anak, dia lagi buru-buru."
Ucap Fandi sambil membantu Vina berdiri. Orang yang dimaksud Fandi tadi adalah Regar. Yah, lelaki itu terus saja berlari dengan dibuntuti oleh Zena dan Eksa yang sudah tampak kelelahan mengejarnya.
"Iya, aku nggak pa-pa. Ya udah aku duluan."
Fandi pun hanya mengangguk membiarkan Vina berlari menaiki tangga, sedangkan dirinya kembali berlari menyusul Regar dan kedua sahabatnya yang sudah hilang di balik belokan koridor.
Vina memberhentikan langkah di depan pintu kelas. Mengatur napas sebelum akhirnya masuk dan menemukan Listi yang tertidur dengan peluh membanjiri kening. Ada apa dengan gadis itu?
Mencoba mendekat, sesekali menepuk dan menggoyangkan punggung gadis itu secara perlahan. Badan Listi panas sekali, apakah dia sakit?
Vina dibuat panik saat itu juga. Tepukan yang tadinya hanya dilakukan satu hingga dua kali kini berubah menjadi sering dan tak terhitung. Namun bukannya tersadar, gadis itu malah mengeluarkan air mata dan terus meracau menyebutkan nama ... Ardi?
"Lis ... Listi, bangun."
Listi berhenti meracau, matanya perlahan terbuka. Dia mengangkat kepala yang sedari tadi tertempel di atas lipatan tangan dan menatap Vina dengan tatapan sendunya. "Lo mimpi buruk?"
Gadis itu hanya mengangguk tanpa minat untuk menceritakan mimpi apa yang menimpanya. Vina yang mengerti akan suasana hati Listi pun memilih tidak menanyakan hal itu, mungkin Listi memang tidak ingin ada orang yang tahu.
"Kita ke rumah sakit, yuk!"
"Ngapain?"
"Ma-mam ... ekhm ... mama lo ...."
"Mama kenapa?"
Sulit sekali bagi Vina untuk mengucapkan kata-katanya. Listi pun juga tidak mungkin sebodoh itu jika mendengar kata 'rumah sakit' yang bersangkutan dengan mamanya. Tapi kenapa gadis itu tetap tenang tanpa ada rasa penasaran sedikit pun?
Tanpa mengucapkan apa-apa, Vina langsung menyeret gadis itu karena dirinya tidak bisa memberitahu Listi dengan ucapan. Lidahnya serasa kelu. Sebelum berangkat, Vina sudah berpesan kepada teman sekelas yang hari ini piket untuk menyimpankan tas mereka di laci meja.
Listi dibawa menggunakan mobil milik Vina, karena kebetulan Listi tadi berangkat sekolah bareng dengan tetangganya yang juga satu sekolahan.
Mereka membelah jalan raya. Vina mengemudi dengan sangat gesit, salip kanan, salip kiri, membunyikan klakson dengan kencang, mengerem secara mendadak, membelokkan mobil dengan sekali putaran, setengah putaran, bersihkan sel kulit mati dan kotoran ... eh.
Intinya semua itu membuat kepala Listi bertambah pening. Ia pun memukul bahu Vina agar gadis itu menoleh kepadanya. Dan benar saja, setelah menyalip tiga mobil sekaligus, Vina langsung menolehkan pandangan ke arah Listi.
"Biar gue aja deh yang nyetir. Kepala gue pusing liat cara lo nyetir yang udah mirip orang kesetanan kayak gitu."
"Lo nggak panik apa hah?! Nyokap lo tadi pingsan gara-gara mobilnya ketiban pohon!"
Listi terdiam. Bukannya dia tidak panik, tapi gadis itu lebih panik dengan ayahnya. Listi tahu dengan siapa mamanya pergi, dan mamanya pergi tanpa sepengetahuan ayahnya. Mungkin saat ini adalah sebuah karma yang tengah dialami oleh mamanya Listi.
Vina melihat perubahan raut wajah Listi yang menjadi datar. Seharusnya jika gadis itu mendengarkan ucapannya barusan, Listi akan menjadi panik dan menyuruhnya untuk mempercepat laju kendaraan. Tapi kenapa sekarang gadis itu malah terlihat tidak peduli.
"Sebenarnya ada apa, Lis?"
"Bisa putar balik ke rumah gue aja? Di sana pasti juga udah ada Kak Lintang yang jagain. Soalnya gue harus ketemu ayah dulu."
Vina mengangguk. Listi sudah bisa berpikir mana yang baik untuk dirinya sendiri, dan Vina pun tidak bisa memaksa. Ia berhenti sebentar di pinggir jalan, memberikan pesan kepada kedua sahabatnya jika ia dan Listi tidak jadi ke rumah sakit. Setelah selesai, Vina pun kembali melanjutkan perjalanan sambil melihat lokasi yang bisa digunakan untuk putar balik.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sikap Listi terasa aneh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...