Suara roda brankar terus menggema di sepanjang lorong menuju ruang operasi. Tepatnya lima belas menit yang lalu, terjadi tabrak lari di depan sebuah rumah sakit tempat Regar bekerja. Korban pertama seorang pria berumur dua puluh lima tahun yang kini sedang dibawa menuju ruang operasi. Kaki pria itu sepertinya mengalami patah tulang cukup serius sehingga membuat perawat yang menanganinya juga cukup panik.
Awalnya Regar berjalan cepat di belakang mengikuti para perawat, namun ia sadar jika masih ada satu korban lagi yang belum ditangani. Hingga akhirnya tujuan yang sebelumnya menuju ruang operasi pun diurungkan menjadi keluar dari rumah sakit meskipun keadaan di luar sedang hujan lebat. Memeriksa tempat kejadian namun sudah tidak ia temukan keberadaan korban kedua.
Matanya menyipit, menajamkan penglihatan yang cukup buram saat melihat beberapa meter di depannya terdapat beberapa orang yang tengah menggotong seorang perempuan. Segera saja Regar berlari menghampiri mereka semua. "Pak Dokter, mbaknya di bawa ke mana, ya?"
Regar terdiam, tangannya bergetar hebat, wajahnya mulai memanas. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. "Pak, cepat! Ini mbaknya kasihan! Kami juga sudah basah kuyup."
Satu tarikan sebelum akhirnya tubuh wanita itu beralih ke dalam gendongan Regar. Ia pun berjalan cepat memasuki rumah sakit tanpa menghiraukan reaksi bapak-bapak itu yang kini melongo menatapnya bingung. "Kok mbaknya diambil?"
"Bapak nih kaya pacarnya saja! Biarin to diambil, kalau sama kita nanti keburu ... sudah-sudah ayo bubar!" Mereka pun bubar dan mulai melanjutkan perjalanan.
Dengan nafas memburu, langkah kaki panjang, Regar terus berkata lirih, "bertahan ... bertahan ... bertahan demi kita semua!"
•••
Gemercik hujan mengalun di indra pendengaran milik Widia. Sedari tadi ia hanya memandang tetesan air yang jatuh di jendela kelasnya tanpa merasa bersalah karena telah mengabaikan Pak Harun guru masa lalu itu.
Guru yang setiap mengisi jam pelajaran hanya membahas tentang zaman dahulu tanpa ada niatan untuk mengajak anak didiknya bergerak maju.
Lima menit lagi bel istirahat akan berbunyi, dan Pak Harun justru mengajak semua muridnya untuk menyimpulkan pelajaran hari ini. Yang benar saja, bahkan Widia tidak tahu sama sekali apa yang dijelaskan oleh gurunya sedari tadi.
Celaka! Cacing di perut gadis itu mulai meronta, meminta jatah yang seharusnya, karena ini sudah waktunya, dan ia masih mendekam di tempatnya tidak tahu harus berbuat apa.
"Siapa yang bisa menyimpulkan? Jika tidak ada yang menyimpulkan, maka istirahat di tunda 10 menit lagi."
Tamatlah riwayat Widia. Ia mulai berkomat-kamit mengucapkan seribu satu mantra andalannya supaya ada suka relawan yang dengan senang hati menjawab pertanyaan dari Pak Harun. Hingga dua menit berlalu, namun tak kunjung Widia lihat sebuah telunjuk yang terangkat indah di dalam kelasnya.
Tuhan, selamatkan Widia dari busung lapar!
Dengan mantab akhirnya Widia membuka salah satu bab yang baru-baru ini diterangkan oleh Pak Harun. Demi cacing peliharaannya dan roti bakar anak tersayangnya, ia rela memeras otak pas-pasannya itu untuk berpikir.
Kerajaan di Nusantara.
Sepertinya ia sedikit paham akan materi kerajaan. Tanpa rasa ragu lagi Widia langsung mengangkat telunjuknya tinggi-tinggi hingga tanpa sadar tubuh gadis itu juga ikut berdiri.
"Akhirnya, silahkan Widia jelaskan!"
"Menurut pemahaman Widia nih ya, Pak. Kerajaan di Nusantara itu ada banyak dan bertebaran mulai dari Sabang sampai Merauke ... Contohnya kerajaan Majapahit yang terletak di kepulauan Jawa, ada juga kerajaan Sriwijaya, kerajaan Demak, dan masih banyak lagi. Sekian terima kasih, tapi kalau bisa jangan disalahin ya, Pak.”
Pak Harun hanya bisa menggelengkan kepala melihat salah satu muridnya itu. Widia memang dikenal baik oleh seluruh guru, terlebih lagi dia bukan murid bandel seperti kebanyakan temannya.
“Ya sudah, jawaban kamu benar Widia, silahkan beristirahat.”
Widia mencebik melihat seluruh teman sekelasnya yang langsung berlari keluar dari kelas, dan lihat! Mereka tidak ada yang mengucapkan terima kasih kepada Widia, tahu begitu tidak akan Widia jawab pertanyaan dari Pak Harun tadi. Biarkan mereka tetap di dalam kelas sampai jam pulang sekolah, bahkan jika harus sampai kembali berangkat sekolah pun Widia hayuk-hayuk saja.
“Muka lo nggak usah dijelek-jelekin Wid, emang udah jelek. Lagian lu juga sih, udah tahu modelan manusia kelas kita kek gimana, masih aja baper.”
Aprilia yang melihat raut wajah Widia berantakan pun menepuk pelan pundak mungil itu. “Ish tau lah kesel.”
Ketiga pasang mata itu kini memandang Widia dengan tatapan heran. Bagaimana tidak?
Dengan kaki yang dihentak-hentakkan, ransel yang digendong seperti anak kecil, ditambah lagi tiga kotak bekal yang di dekapnya sekaligus.
“Lo pada yakin kan kalo dia kelas dua SMA?”
Beruntung Widia sudah berjalan jauh sebelum Tresia memberi pertanyaan kepada Aprilia dan Vebi, kalau sampai dia dengar, tamatlah sudah riwayat Tresia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...