Bab 27 | Sebenarnya

55 11 0
                                    

Sefita tergagap dari tidurnya saat mendengar suara jeritan nyaring yang berasal dari dalam kamar mandi. Buru-buru ia bangkit dan berlari dengan sempoyongan lalu menggedor pintu dengan kencangnya, khawatir jika terjadi apa-apa dengan Listi.

"Lis, Listi! Lo kenapa?"

Tak ada sahutan dari dalam. Sefita pun semakin panik. Ia tidak bisa mendobrak pintu yang terlihat kokoh itu. Lihat saja badannya, tipis tanpa ada kesan berotot sama sekali.

Alhasil, Sefita memilih terus menggedor pintu dan memanggil nama Listi tanpa henti. Sampai pada saat dirinya hampir tersungkur ke depan karena mendadak pintu yang sedari tadi ia gedor terbuka.

Tampak Listi di sana. Bibirnya melengkung ke bawah dengan napas yang dimainkan seolah dirinya hendak menangis. Mirip seperti anak kecil.

"Lo tadi kenapa?"

"Ta, kok mata gue besar banget? Berasa jadi orang sipit gue tuh."

Sefita membeku dibuatnya. Dia pikir Listi kembali frustasi dan tidak bisa mengendalikan diri seperti semalam, tapi dugaannya salah. Ternyata gadis itu bukan hanya frustasi, tapi lebih tepatnya mengalami gangguan jiwa.

Memilih tidak peduli, Sefita pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan mendorong paksa tubuh Listi agar gadis itu keluar. Mereka harus segera berangkat ke sekolah.

Selagi menunggu Sefita mandi dan bersiap-siap, Listi memilih menceritakan kepada Vina dan Nadia tentang kejadian semalam melalui pesan. Bagaimana pun mereka adalah sahabat Listi, sudah sewajarnya kedua orang itu tahu.

Jika kembali mengingat, rasanya sesak sekali. Melihat sang ayah yang pulang dari rumah sakit dengan membawa secarik kertas putih bertuliskan 'surat gugatan cerai'. Hati Listi serasa terkoyak malam itu, harapannya untuk memperbaiki keluarga pupus bersamaan dengan kepergian sang ayah dari rumah.

"Bengong aja lo. Ayo berangkat!"

Listi mendongak saat melihat Sefita yang berdiri di hadapannya sambil memperbaiki jam tangannya yang sedikit miring. Mereka pun berjalan keluar dari rumah dan pergi ke sekolah menggunakan motor Listi. Tentu saja Sefita yang menyetir, mata Listi masih bengkak.

Mereka sampai di sekolah sepuluh menit setelahnya. Sudah lumayan banyak orang tua wali yang datang, ada juga siswa-siswi yang mengambil rapor tanpa wali, sama seperti Listi dan Sefita.

Listi tersenyum sendu. Ternyata masih banyak remaja yang nasibnya sama seperti dirinya, bahkan ada yang lebih berat. Mulai sekarang ia harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan karena masih diberi orang tua yang lengkap meski keduanya harus terpisah rumah.

Kedua gadis itu berjalan masuk ke dalam kelas mereka. Mengikuti serangkaian acara hingga tiba saatnya waktu pulang. Nilai Sefita dan Listi bagus. Tapi seperti biasa, Listi tidak terlalu memikirkan nilai, yang penting dirinya naik kelas.

"Lo cara belajarnya gimana sih, Lis? Gue jadi pengen."

"Bertapa di puncak gunung yang lagi erupsi."

"Pala lo!"

Listi terkekeh lalu memasukkan rapornya ke dalam tas. Mereka akan melanjutkan perjalan ke rumah sakit, dan Listi sangat malas tentunya. Tapi tak apa, demi tinggal bersama sang ayah, apa pun akan ia lakukan.

Motor hijau itu mulai membelah jalan raya. Melaju dengan kecepatan tinggi demi menghemat waktu. Listi turun dari motor saat mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit. Menatap sejenak gedung yang menjulang tinggi di hadapannya sebelum kakinya melangkah memasuki tempat itu.

Mereka tidak perlu lagi menanyakan letak kamar kepada suster yang berada di ruang administrasi itu. Hanya perlu berjalan menaiki tangga hingga sampai di lantai dua. Mencari kamar nomer lima lalu masuk.

Dan di situlah awal kebingungan Listi. Ia masih mematung di ambang pintu yang kini sudah terbuka lebar menampilkan suasana di dalam ruangan.

Di sana, mamanya masih terbaring dengan perban yang membalut kening. Di samping kiri, terdapat Nagara yang tengah duduk dengan tatapan memandang ke arah Listi. Di sofa, kedua kakaknya tengah duduk sambil memakan beberapa camilan yang tersedia. Dan seorang pria yang kini berdiri membelakanginya dengan sebuah map di tangan kanan, sama seperti map rapor yang ia miliki, mulai menoleh ke belakang.

Pandangan mereka bertemu. Lelaki itu tampak terkejut, tapi tidak dengan Listi. Sebenarnya ia sudah mencurigai orang itu sejak lama. Dan ternyata dugaannya benar. Ardi, Gara, dan Regar adalah orang yang ... sama.

Listi tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke arah di mana sang mama terbaring. Ia berjalan mendekat melewati Regar yang masih terpaku di tempat.

"Mama udah sehat?"

"Udah, Lis. Maaf ya Mama nggak bisa ngambil rapor kamu tadi."

Listi tersenyum lalu mengangguk. Lagi pula, sejak kapan wanita paruh baya itu pernah mengambilkan rapornya? Seingatnya dari dulu hanya sang ayah yang selalu mengambilkan dan memberi Listi kecupan manis saat mendapat nilai bagus.

"Gara, bagaiman-."

"Gara keluar dulu sebentar."

Lelaki itu langsung pergi tanpa mau mendengar pertanyaan yang bahkan belum selesai Nagara ucapkan. Listi tahu apa yang terjadi, tapi ini belum saatnya untuk ia menyusul pria itu.

"Ma, Listi mau minta izin. Listi mau tinggal sama Ayah aja, Listi mau pindah ke rumah Ayah."

Lusy terdiam dengan ekspresi datar. Ia memandang ke arah Listi dengan tatapan malasnya. "Apa sih yang ngebuat kamu lebih milih dia daripada Mama?"

Listi dibuat emosi. 'Dia' siapa yang dimaksud? Jika 'dia' yang dimaksud adalah ayahnya, Listi rasa sedikit aneh.

"Ma, Listi nggak mau ribut sama Mama. Sekarang Listi tanya sekali lagi, apa Listi boleh tinggal sama Ayah?"

Lusy malah membuang muka menghadap Nagara. Ia sepertinya enggan menatap anak bungsunya itu.

"Udahlah, Lis. Apa susahnya sih tinggal sama Mama? Lagian Mama lebih berguna daripada Ayah."

Tangan Listi terkepal kuat. Emosinya memuncak saat mendengar penuturan Lintang yang seolah menjelekkan ayahnya sendiri. Sefita melihat itu semua, ia pun dengan segera menggenggam tangan Listi agar gadis itu tidak hilang kendali.

"Ma-."

"Terserah kamu! Kemasi barang-barangmu dan pergi ke rumah ayahmu!"

Sudah Listi duga. Kehadirannya memang tidak pernah diterima dengan baik oleh mereka yang ada di dalam ruangan ini. Tapi Listi tidak masalah. Selagi dia masih punya ayah dan sahabat ... She is fine.

"Makasih, Ma. Listi pamit."

Dia pun berbalik badan lalu menyeret tangan Sefita agar cepat pergi dari ruangan itu. Ia menulikan telinga saat Lintang dan kakak iparnya mulai mencaci maki dirinya dengan ucapan yang tidak pantas.

"Lo tunggu di parkiran. Gue mau cari Regar dulu."

Sefita mengangguk mendengar ucapan Listi. Ia pun dengan segera pergi menuju parkiran tanpa berbicara apa pun lagi.

Sedangkan Listi. Gadis itu mulai mencari Regar. Ia tidak mau Regar hancur untuk yang kedua kalinya. Ini bukan salah lelaki itu, dan Regar pasti membutuhkannya saat ini.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang