Esok paginya Vina berangkat sekolah bersama dengan Listi, mereka tampak lemas seperti tidak memiliki tenaga. Bagaimana tidak lemas? Les tadi malam berakhir pukul 01.00 a.m, dan hal itu disebabkan oleh lagu yang mereka nyanyikan terlalu asyik hingga membuat lupa waktu.
Mereka terus saja berjalan menyusuri koridor dengan sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. Hingga sampailah mereka di depan pintu kelas yang sekarang tengah berdiri seorang gadis dengan senyuman manis, yah meskipun tidak terlalu manis.
"Pagi."
"Pagi," jawab Vina dan Listi tanpa semangat, mereka kompak mendorong tubuh Sefita agar menyingkir dari pintu supaya mereka bisa masuk ke dalam kelas.
Sedangkan Sefita, gadis itu bingung dengan kedua sahabatnya. Apakah mereka sakit? Tidak mungkin. Jika mereka sakit pasti keduanya akan langsung meminta izin agar tidak perlu masuk sekolah. Mau bagaimana lagi, kesempatan langka memang harus dimanfaatkan.
Sefita yang kini masih setia berdiri di depan pintu pun memilih masuk ke dalam kelas dan mendekati Listi yang memang duduk sebangku dengannya. "Nadia nggak berangkat."
"Kenapa?" sahut Vina yang kini mulai mengeluarkan ponsel, detik berikutnya gadis itu sudah seperti orang gila. Senyum-senyum sendiri.
"Nggak tahu, dia nggak bilang alasannya."
Vina berhenti memainkan ponsel, beralih memandang Sefita yang kini juga tengah memandangnya. Satu alis Vina terangkat yang kemudian diikuti oleh Sefita. Vina mengernyit, Sefita pun sama.
"Lo ngapain niruin gue sih?!"
"Ya lo ngapa liatin gue sampai segitunya?"
Vina berdecak tidak peduli, pandangannya kembali terfokus ke layar handphone yang kini sudah kembali menyala. Namun hal itu tak berlangsung lama saat pandangan gadis itu teralihkan karena mendengar suara Sefita yang berdebat dengan seseorang.
"Oh jadi elo yang bikin Nadia nggak masuk?! Mau lo apa sih sebenernya?!"
Di depan Sefita saat ini sudah berdiri empat orang lelaki yaitu Zena, Eksa, Fandi, dan Regar. Gadis itu tampak sangat marah saat berbicara dengan Zena, entah apa masalahnya Vina juga tidak tahu.
"Bukan gue yang bikin dia nggak masuk sekolah! Dianya aja yang berani jalan sama cowok lain di belakang gue!"
"Kok lo jadi nyalahin Nadia sih! Jelas-jelas elo duluan yang jalan sama cewek lain!"
Kelas hening. Bukan karena tidak ada orang, tapi mereka lebih memilih diam menikmati tontonan gratis yang jarang sekali terjadi itu. "Sayang, udah."
Eksa mencoba menenangkan kekasihnya, namun gadis itu tampak tidak peduli dan malah menyorot Zena dengan tatapan membunuh.
"Ada apa sih?"
"Dia Vin yang bikin Nadia nggak masuk sekolah." Mendengar jawaban dari Sefita membuat Vina ikut termakan amarah. Jadi hanya karena cowok macam Zena yang membuat Nadia tidak masuk sekolah? Tapi apa sebabnya?
"Bukan gue!"
"Lo kok nyolot sih! Santai aja dong kalo ngomong."
"Sayang sabar," ucap Fandi yang kini mulai mendekati Vina dan merangkul tubuh gadis itu. Mencoba meredam amarah kekasihnya.
"ADUH!" Semua mata tertuju ke arah Listi. Gadis itu kini tengah berteriak kesakitan sambil memegang kepalanya. Regar yang berada tepat di depan meja gadis itu pun menampilkan senyum puas seakan-akan dialah yang membuat Listi seperti itu. Ya memang Regar yang melakukannya, mau siapa lagi.
"SAKIT KAMPRET! SETAN KAYAK LO NGAPAIN SIH MASUK KE KELAS INI?!"
"Temen lo lagi debat lo malah enak-enakan tidur? Bantuin noh," jawab Regar enteng sambil mendorong pelan kepala Listi.
Listi menoleh ke samping, Vina yang berada di pelukan Fandi, dan Sefita yang tangannya digenggam erat oleh Eksa. Lalu, apa yang diributkan?
"Kalian kenapa sih?"
"Zena yang bikin Nadia nggak masuk sekolah, Lis."
Listi mengernyit saat mendengar jawaban Sefita. Sepertinya dia mulai paham. "Lo apaain Nadia sampai nggak masuk sekolah gini?"
"Gue cuman marahin dia aja, masa dia berani jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan gue," jawab Zena enteng seolah kesalahannya bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan.
Listi tersenyum remeh. Ternyata masih ada lelaki pengecut yang hidup di bumi ini setelah berkembangnya zaman. Memarahi wanita? Bukankah itu adalah hal menjijikkan yang hanya dilakukan oleh pria lemah?
"Lo pernah ke pasar malam?"
Wajah Zena mendadak pias, dia tahu sekarang apa maksud ucapan dari Sefita tadi. Ternyata keempat gadis itu sempat melihat dirinya yang tengah berkencan dengan salah satu pacarnya, tidak, lebih tepatnya selingkuhan. "Lis, gue ...."
"Jangan sok nyesel gitu lo. Kalo mau jadi fuckboy ya jadi aja, setahu gue kalo buaya tuh nggak pernah pusing cuman gara-gara salah satu gebetannya liat dia selingkuh."
Zena diam. Sungguh ia tidak bisa berkata-kata, otaknya serasa mati tanpa bisa mencari alasan yang logis.
"Daripada lo malu sendiri di kelas ini, mending lo pergi. Ajak noh temen-temen lo sekalian, ganggu aja." Satu persatu penonton mulai duduk di tempat masing-masing, Listi pun juga sudah kembali di tempatnya untuk mempersiapkan alat tulis karena sebentar lagi bel masuk akan berdering.
"Cabut! Lo kayaknya perlu belajar lebih giat lagi sama gue kalo mau jadi playboy," ajak Regar sambil menyeret Zena yang masih terdiam di tempat.
Eksa dan Fandi yang melihat kedua temannya sudah pergi pun berpamitan kepada pacarnya masing-masing dan menyusul mereka.
Benar saja, setelah kepergian keempat cowok tadi, kini bel masuk mulai berdering membuat murid-murid yang sebelumnya berada di luar kelas berlomba-lomba untuk sampai terlebih dahulu di kelas masing-masing. Dan akhirnya, pelajaran pun dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...