Jaya menyudutkan Anri di pojok pos kecil itu. Anri tak bisa berkutik sama sekali. Ingin sekali ia menjerit namun rasanya tenggorokannya tercekat. Jaya dekat sekali dengannya, wajahnya menyeramkan dengan seringaian lebarnya.
"Ka-Kak Jaya..." desis Anri, suaranya bergetar.
Namun, tiba-tiba, Jaya menunduk, ia terkekeh geli dalam tundukannya. Anri mengernyitkan dahi karena bingung, ekspresi menyeramkan Jaya langsung menghilang saat ia mengangkat kepalanya untuk memandang Anri, digantikan oleh ekspresinya yang menahan tawa.
"Sorry. Lo takut, ya?" kata Jaya, masih menahan tawa sampai ia harus menutup mulutnya. "Muka lo itu lho, waktu ketakutan. Lucu banget, Ri,"
Anri melongo, terhenyak dengan Jaya yang ternyata hanya pura-pura, dengan niat untuk membuatnya kaget. Alih-alih lega, Anri malah kesal. Ia melepas tasnya yang memeluk punggungnya dan menggebuk-gebuk Jaya dengannya.
"Apaan, sih! Pagi-pagi udah ngagetin orang! Keseeel!" omel Anri sambil menggebuk-gebuk Jaya dengan tasnya. Jaya malah tertawa lebih keras dan mentamengi tubuhnya dengan tangan, buru-buru ia menahan tangan Anri supaya anak itu tidak menggebuki dirinya lagi.
"Sorry, sorry...!" katanya.
"Lo kemarin kemana? Temen lo, si Dipha-dipha itu, nggak mau jawab waktu gue tanya lo nggak masuk karena apa."
Anri berhenti menggebuki Jaya karena tangannya dipegangi. Ia menghentakkan tangannya supaya pegangan Jaya terlepas, Anri berpikir-pikir dulu apakah ia harus menjawab jujur pertanyaan Jaya. Ia pun menghela nafasnya kemudian memakai tasnya lagi di punggungnya.
"Rumah sakit, Mama aku dirawat... Masuk ICU." jawab Anri singkat, akhirnya untuk memutuskan menjawab Jaya dengan jujur saja, meskipun ia tak tahu risiko apa nantinya.
"Mama kamu masuk rumah sakit? Terus, nanti malam nggak bisa hadir ke undangan, dong?"
"H-Hah? Undangan apa?"
"Kok, nanya undangan apa. Resepsi nikahan abang gue lah."
"HAH?! Malam ini, Kak Jaya?"
Rasanya jantung Anri copot begitu mendengarnya. Ia memang diberi undangan oleh Jaya di sekolah, undangan berwarna hitam-emas, tapi karena ogah-ogahan untuk menghadiri undangan tersebut Anri mencuekinya dan tidak mencermati kapan pesta itu akan dilangsungkan. Jangankan mencermatinya, Anri dengan sembrono melempar undangan itu ke meja belajarnya. Ia tak menyangka pestanya akan secepat ini.
"Apaan, nih." kata Jaya. Tatapan dan nadanya sekejap berubah menjadi menyeramkan lagi, alisnya bertaut, sepertinya kesal karena jelas sekali ia tahu Anri lupa pada undangan itu.
"Lo lupa? Sengaja? Atau gimana?"
Anri bergidik ngeri karena begitu cepatnya ekspresi Jaya berubah. "M-maafin aku, Kak Jaya... Aku nggak mikirin apa-apa di rumah sakit kemarin... Maaf... T-tapi aku bisa, kok, dateng malam ini ke lokasinya."
Tapi Jaya kembali tersenyum setelah mendengar perkataan Anri. Anri menatap Jaya, bingung sekali karena orang itu cepat berubah ekspresinya. Jaya menarik tas Anri sampai anak itu terpaksa membelakangi Jaya.
"Bagus kalo gitu. Artinya lo tau diri." Jaya berkata sembari memasukkan sebuah bungkusan ke dalam tas Anri.
"Ini baju lo buat acara nanti malem. Harus dipakai, oke?"
Jaya menepuk-nepuk kepala Anri sebelum ia keluar dari pos itu dan berlari menuju pintu masuk gedung sekolah.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona Non Grata
Romance( C O M P L E T E ) O M E G A V E R S E Setelah tiga belas tahun mengabdi di angkatan udara, Jean-Rouanet Himadya Azéma memutuskan untuk mengundurkan diri. Jean--yang merupakan seorang Alpha laki-laki pun kembali untuk meneruskan perusahaan ayahnya...