21 - Di Sisi Lain Ini

5.1K 487 32
                                    

Jean-Rouanet Himadya Azema
.
Indonesia

.

.

.

.

.

.

Alarm di ponsel itu sudah menjerit berkali-kali pagi ini untuk yang kesekian kalinya, memecah keheningan di kamar yang sunyi tersebut. Alarm yang di-set waktunya bertumpuk-tumpuk itu tetap tak bisa membangunkan pria yang masih bergelung di dalam selimutnya walaupun jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

Jean masih setengah tertidur di dalam selimut putihnya tanpa mengenakan baju atasan. Ia menggeram tak suka sebab alarmnya terus-terusan menjerit padahal sudah beberapa kali ia snooze.

Padahal dia sendiri yang set alarmnya sepert itu.

"Pak Jeaaaaaan! PAK JEAAAAAAN!"

...

....

Oh, ya. Inilah alarm sesungguhnya, yang nggak akan bisa di-snooze bagaiman pun caranya. Jean perlahan membuka matanya lantaran suara jeritan orang itu yang semakin didiamkan malah semakin kencang. Suara itu semakin dekat dan kencang, pertanda bahwa orang itu akan segera membuatnya mau tak mau bangun dari tidurnya.

Pintunya terbuka dengan kasar, di sanalah seorang Beta berdiri dengan wajah murka. Tara memberikan Jean neraka pagi-pagi begini. Sama seperti dua hari lalu saat Jean terlambat bangun.

"Saya gak percaya ini! Saya udah bilang ke Pak Jean, dengan amat spesifik!! JANGAN SAMPAI TELAT HARI INI!" omelnya. Tara berjalan dengan penuh amarah menuju Jean yang masih malas-malasan di tempat tidurnya, menarik selimut atasannya dan menemukan Jean yang baru mengucek-ucek matanya.

"Ya ampun, Tara..." kata Jean. Ia bangun perlahan-lahan, lalu menguap--membuat Tara malah tambah berang.

"Kamu bela-belain nyamperin saya dari Jakarta cuma buat ngebangunin? Baik banget kamu ini,"

"Iya! Dan syukurnya Pak Raden juga mau berbaik hati ngebiarin saya diantar pake heli-nya ke sini, karena dia peduli sama Pak Jean! Ayo, dong, Pak! Satu jam lagi bapak ada pertemuan sama Pak Raden buat membahas simulasi final Cloud Nine," kata Tara, dengan sedikit nada memohon. Ia menarik tangan Jean untuk mempercepat gerakan malas-malasan atasannya. "Jangan sia-siakan kepedulian Pak Raden."

Jean hanya tersenyum kecil sambil memandangi Tara, kemudian ia berjalan menuju kamar mandinya. Alpha itu melambai-lambaikan tangannya. "Ya, ya. Saya siap-siap dulu sebentar. Sampaikan terima kasih saya buat Raden."

"Jangan lupa cukuran, Pak. Biar lebih rapi, kalau bisa."

"Hmm? Nggak cukup waktunya kalo gitu, Tara. Soal itu nanti aja,"

Tara hanya bisa menghela nafas panjang sambil keluar dari kamar Jean untuk memberikan atasannya waktu untuk siap-siap. Beta itu turun ke ruang tengah di lantai utama dan duduk di sofa panjang di sana, membuka hpnya untuk mengirim pesan terima kasih untuk Raden atas tumpangannya.

Ia menatap ke lantai atas. Sudah empat tahun lebih sejak Anri pergi. Jean sudah 'berfungsi normal' kembali setelah berbulan-bulan bergelut dengan perasaannya. Namun Jean sangat berubah sejak saat itu. Atasannya itu seperti kehilangan sinar atas dirinya sendiri. Ia masih merupakan atasan yang berkharisma dan sangat dihormati, hanya saja ada sesuatu 'ini' yang hilang darinya. Dulu Jean tak pernah harus dibangunkan seperti ini, dulu Jean mencukur licin janggutnya dengan rutin, ia juga tak pernah terang-terangan memperlihatkan kemalasannya pada Tara.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang