30 - Flu Remedies

6K 443 24
                                    

"OMG!"

Dipha tak kuasa menahan air mata bahagianya yang menitik sedikit demi sedikit. Tangannya yang sedang memegang tangan Dipha gemetaran. 

"Y-ya, jadi begitulah ceritanya. Jean ngelamar gue... dan baru kemarin aja, Papa, Kak Prabu, sama Athena dateng ke rumah orangtua Jean di Bandung. Tapi, Dip! Gue janji, gue nggak bakal ngeduluin lo sama Raden nikah, kok! Kalian udah nentuin tanggal duluan, kalian juga harus nikah duluan!"

"Apaan sih, Ri! Lo nikah duluan juga gak apa-apa, gue relaaaa!"

"Diphaaa, gue even belum ngerencanain apa-apa soal pernikahan sama Jean. Masa' kita ngeduluin lo?"

Di siang hari Senin itu, Anri, Wasa, dan Dipha tengah makan siang bersama di Starbucks, tepat di depan kantor Anri. Karena kantor mereka lumayan berdekatan (sama-sama berada di dalam  kawasan "Golden Triangle of Jakarta"), mereka memutuskan untuk makan siang bersama. Dan berhubung ini kali pertama Anri memberitahu tiga sahabatnya itu kalau dia sudah tunangan, membuat suasana makan siang kali ini tidak biasa.

Dipha sebenarnya agak sebal karena Anri tak memberitahu dia dan Wasa lebih dulu. Tapi mana mungkin ia sebal terus-terusan setelah melihat sebuah cincin nan indah melingkar di jari manis sahabatnya? Dan yang paling membuatnya seperti terpompa, Anri dilamar hanya sebulan sebelum pernikahannya dengan Raden.

Wasa menopang kepalanya dan menggeleng-geleng sambil tersenyum bangga. "Kalian semua nikah muda... Mana bisa hampir samaan begitu lagi," Lelaki itu berdecak-decak.

"Makanya cepetan, tuh, Was. Buruan pinang Amalia itu, deh! Biar lo nyusul," Dipha nyengir lebar. Yang dia maksud adalah Amalia, Beta perempuan yang sudah pacaran dengan Wasa dua tahun belakangan ini.

"Gila lo, Dip. Amalia aja baru magang, kerjaan gue juga belum lama mulai! Nanti dulu lah... Tunggu mapan dulu."

"Aduh, iya, deh, iyaaa... Kerja yang rajin ya, Wasaaa~" cicit Anri, ia menaruh kepalanya di bahu Wasa, menggoda sahabatnya itu.

"Oh iya, gue belum nanya kelanjutan rencana pernikahan lo, Dip. Jadinya gimana? Kan kata lo ibu dan neneknya Raden akhirnya udah nerima lo?" Anri tiba-tiba mengangkat kepalanya. Omega itu mendadak saja teringat dan ingin bertanya soal pernikahan Dipha dan Raden.

"Umm, pernikahannya bakal sederhana aja, kok. Keluarga dekat sama temen-temen gue dan Raden aja, palingan? Kita rencananya upacara di Badung, terus dilanjutin resepsi di Seminyak, di resornya Raden,"

"Gue sama Raden juga berpikiran begitu, Ri. Yang sederhana aja,"

"Hahaha, oke, oke, ngomong-ngomong soal nikahannya dilanjutin kapan-kapan bisa, nggak?" sela Wasa sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Waktu istirahat siang hampir habis, mereka harus segera kembali ke kantor. Kantor Wasa dan Dipha berdekatan, jadi mereka kembali berdua, dan Anri kembali sendiri. Mereka melambai-lambaikan tangan sebelum berpisah di jalan.

Baru saja Anri keluar dari lift dan sampai di lantainya, ia langsung dihampiri oleh Maria, rekan kerja yang duduk tidak jauh darinya. Maria nampak tergesa-gesa menghampiri Anri.

"Anri! Ya ampun, syukurlah lo balik cepet! Ada urgent banget, nih," kata Maria, ia nampak amat cemas.

"H-heh? Kenapa, Mar? Kok panik banget begitu?"

"Kamu bisa gantiin Pak Charlos, gak? Dia minta aku biar kasih tau, kalo kamu yang gantiin dia buat meeting editor siang ini,"

Hati Anri langsung mencelus. "Kenapa tiba-tiba banget?! Kemana Pak Charlos?"

Anri menderap menuju ruangan atasannya yang berada paling dekat dengan desk-nya. Ia membuka pintu kaca itu dengan gusar--dan benarlah, Charlos tak ada di sana. Ruangan itu kosong, tak ada siapa-siapa. Bahkan Anri menemukan setumpuk dokumen yang tadi pagi diberikannya untuk dibaca Charlos, belum tersentuh sama sekali.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang