37 - Mereka Datang!

7.6K 455 19
                                    

"Unnhh..."

"Masih enggak enak rasanya, sayang?"

Anri menggeleng.

"Jangan dipaksa, kalau begitu. Ini artinya kamu perlu istirahat." Jean menghela nafas.

Anri menggeleng untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini sambil menekan perutnya lebih kencang. Ini sudah lebih baik daripada saat Anri baru saja bangun tidur. Anri baru bisa beranjak untuk siap-siap ke kantor setelah dia muntah-muntah di toilet.

"Nggak bisa hari ini, Jean. Kasian anak-anak aku, apalagi Reksa yang udah bolos kuliah demi pertemuan hari ini."

Jean hanya bisa menatap Anri dengan iba--namun penuh cemas. Anri tidak menghabiskan sarapannya pagi itu karena dia merasa tidak enak badan sejak kemarin. Perutnya mual sekali, kepalanya pening. Rencananya, Jean akan membawa Anri ke dokter hari ini. Namun, jadwal Anri padat, dan mereka pun memutuskan untuk pergi ke dokter sepulang Anri dari kantor.

Sebetulnya, kalau bukan kewajibannya, Anri juga tidak mau berangkat ke kantor hari ini. Tubuhnya seolah-olah merengek kepada Anri untuk diam saja di rumah.

Pernikahan Jean dan Anri diadakan tiga bulan lalu. Pekerjaan yang menumpuk sudah menanti mereka selepas pernikahan dan bulan madu yang luar biasa itu. Pekerjaan Jean masih dapat ditoleransi--karena alasan yang jelas, tentu saja. Namun Anri masih harus sibuk, terutama dua minggu terakhir ini.

Akibatnya adalah, Jean dan Anri lebih banyak melakukan seks spontan sebagai katarsis kesibukan mereka. 

Anri meringis lagi sambil meringkuk dan menakan perutnya. "Ugh... Apa ini gara-gara aku belum dapat heat? Menstruasi aku juga belum datang bulan ini," ucapnya.

"Bisa saja begitu. Makanya, kita harus ke dokter setelah kamu pulang ngantor, ya?" Jean membantu mengambilkan tas Anri.

"Kamu diantar Zulham, nanti pulangnya juga telpon dia lagi. Jangan pulang atau di jalanan sendirian hari ini." titah Jean sembari menyerahkan tas tersebut. Anri mengangguk pelan. Anri lalu menatap Jean, dia merasa bersalah. Jean akan berangkat ke Toulouse malam ini, tetapi suaminya itu masih bertekad menyempatkan diri untuk mengantarkan Anri ke dokter sebelum keberangkatannya.

Jean sangat khawatir, namun Jean tak bisa melarang Anri untuk melakukan kewajibannya. Sebenarnya dia bisa saja, tetapi Anri sangat sungguh-sungguh karena salah satu anak tanggung jawabnya rela bolos kuliah demi bertemu sang editor untuk berdiskusi tentang bukunya. Supaya rasa cemasnya agak berkurang, Jean menyuruh Zulham untuk mengantar pergi dan pulang Anri ke kantor--serta menunggui Anri sampai pulang, asal jangan sampai kelihatan oleh Omega tersebut.

Suasana kantor pun seperti biasanya pada hari-hari kerja. Anri tidak jadi tergesa-gesa begitu ada pesan Whatsapp dari Reksa yang masuk. Pemuda itu mengabarkan kalau dia masih di Transjakarta menuju kantor Anri. 

Anri menyentuh perutnya dan berdiri di pojokan lift, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding lift. Dia meringis dengan teramat pelan karena perutnya lagi-lagi bertingkah. Ada lima orang termasuk Anri di lift tersebut, dia tidak mau menariik perhatian.

Hari itu Anri mengenakan blazer kantornya. Dia mau menutup perutnya yang sedikit bloated. Sesampainya dia di area kerjanya, Anri disambut oleh Maria yang datang dengan tergopoh-gopoh.

"Kamu beneran ngantor? Udah ngerasa enakan? Aku khawatir banget abis baca Whatsapp kamu yang semalem dan pagi ini!" kata Maria sembari berjalan di samping Anri kemudian membukakan pintu ruangan pribadi Anri.

"Aku nggak apa-apa, kok. Kasian anak-anak kalau aku cancel pertemuan hari ini." Anri berusaha untuk tersenyum sembari memasuki ruangannya.

"Kalau gitu, aku pesenin teh, ya? Biar mual-mualnya mereda."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang