10 - we'll have drinks, and... talk about things

10.6K 807 75
                                    

Jean melangkah cepat ke dalam rumah Anri, baru saja Dipha berseru dari balkon kamar Anri di lantai dua rumahnya kalau kaki Anri tergores kawat. Jean agak khawatir, bagaimana kalau lukanya dalam, atau kawatnya berkarat? Pokoknya dia bergegas melangkah ke kamar Anri.

Alpha itu mendapati Anri tengah bertelungkup di atas tempat tidurnya, masih memakai jubah handuknya, dan luka berdarah yang ada di kakinya. Jean segera mendekati Anri dan memandangi luka di kakinya.

"M-maaf, Jean... Padahal Jean ngajak jalan," kata Anri, berakting sedih. Dia agak merasa bersalah, sih, lantaran membohongi Jean seperti itu. Apalagi saat melihat ekspresi wajah Jean yang benar-benar khawatir sambil memandangi lukanya.

"Nggak apa-apa, Ri. Dipha, Wasa, lukanya belum diapa-apain?" Jean menolehkan kepalanya ke Dipha dan Wasa yang berdiri di belakangnya. Mereka berdua menggeleng.

"Belum diapa-apain, Pak Jean. Kita nggak tau harus mau ngapain luka kayak gitu," jawab Dipha. Anak itu juga berakting pura-pura sedih.

Bohong. Semester kemarin Dipha satu tim bersama Anri memenangkan juara satu pertolongan pertama di lomba ekskul PMR antar SMA tingkat provinsi.

"Saya juga enggak ngerti." timpal Wasa singkat tanpa menatap Jean, dia hanya melirik pria itu sekali. Kalau Wasa, dia nggak bisa akting.

Ini juga bohong. Wasa diangkat jadi perwakilan duta kesehatan remaja se-kota Jakarta. Intinya, sih, mereka bertiga tentu tahu apa-apa saja yang harus dilakukan untuk pertolongan pertama. Tapi, demi keberlangsungan rencana Dipha, mereka pura-pura tak tahu saja. Jean pun sepertinya percaya, dia mangut-mangut mendengar jawaban mereka berdua.

Dia menyuruh salah satu dari mereka untuk mengambil P3K, Anri memberitahu Dipha yang akan mengambilnya kalau perlengkapan P3K ada di bawah tangga.

Jean membersihkan darah yang sudah sedikit mengering di sekitar luka itu. Wajahnya dekat dengan luka Anri--yang ngomong-ngomong berada di pahanya. Suasana hening saat Jean membersihkan luka Anri dengan alkohol, tapi Anri, Dipha, dan Wasa saling bertukar pandang. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

Jean menyentuh paha Anri dengan hati-hati, membuat Dipha menelan ludah saking lembutnya Jean menyentuh Anri, sedangkan Wasa memejamkan matanya lantaran dia tak percaya kalau tujuan rencana Dipha barusan adalah... Ini!

"A-auw..." Anri mendesis kecil. Lukanya terasa perih, dan karena kecil malah terasa agak gatal, seperti minta digaruk. Saat Jean menyapu lukanya dengan alkohol, langsung terasa sensasinya. Jean menghentikan sejenak tangannya dan mengalihkan pandangan ke Anri yang sedang menggigit bibir bawahnya.

"Sakit, ya?" ucap Jean lembut, kemudian dia menggunting kain kasa dan perekat sambil tersenyum tipis.

"Maaf, tenagaku kurang lembut. Tanganku biasa kerja kasar. Tahan sebentar lagi, ya, Anri."

Wasa melirik ke wajah Anri yang mulai bersemu merah. Dia menyikut Dipha, memberi kode kalau sepertinya mereka harus meninggalkan dua orang ini. Sebab suasananya sudah romantis begini...

"Ehm--ehem! Bagus, deh, kalau lukanya udah diobatin sama Pak Jean," kata Dipha setelah disikut oleh Wasa, dia mengerti kode itu.

"Gue sama Wasa pamit dulu, deh! Have fun, Anriii~"

Mereka berdua pamit dalam sekejap mata, keluar dari kamar Anri, Jean pun bisa mendengar suara langkah mereka yang berlari-lari. Dia hanya terkekeh kecil dan menggeleng-geleng.

"Yap, udah selesai. Nggak sakit, kan?"

Luka Anri sudah selesai diobati, Anri pun kagum karena Jean memasang perbannya dengan rapi. Jean berkata kalau dia mendapat ilmu tersebut saat di angkatan udara, dan dia juga sesekali memperhatikan dokter yang sedang mengobati teman-temannya.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang