Chapter 4: Zayyan Zlatennera

4.5K 337 5
                                    

Semua tim sudah masuk ke dalam ruang meeting. Diam-diam, Brianna bersyukur tidak ada laki-laki yang pernah bertemu dengannya di lorong saat sesi interview. Terkadang, harapan kita memang justru tidak dikabulkan Tuhan untuk rahasia-rahasia yang belum diketahui. Terdengar suara langkah kaki tergesa lalu seseorang muncul melalui pintu.

Berkebalikan dengan langkahnya yang tergesa, raut wajah laki-laki itu terlihat tenang. Beberapa perempuan di pojok ruangan mendesah ketika melihatnya masuk. Fidel memutar bola matanya, lalu tersenyum ketika menyadari Brianna sedang menatapnya.

"Jay, hampir saja telat. Ayo masuk." Suara Pak Malviano, Operational Manager mereka, mengalahkan gumam kekaguman para perempuan di pojok ruangan.

Zayyan Zlatennera atau biasa dipanggil Jay, adalah seorang trainer muda lulusan Master of Digital Communication and Culture University of Sydney. Melihat para perempuan di pojok ruangan yang heboh, Brianna menyimpulkan bahwa laki-laki itu cukup populer.

"Baiklah, karena tim kita sudah lengkap, yuk kita mulai meetingnya." Pak Malviano.

Di awal bulan, tim mereka melakukan meeting untuk briefing semua hal terkait dengan pelatihan-pelatihan yang akan dilakukan. Fidel bersama tim Account Executive-nya menerangkan client-client di bulan itu. Sepanjang meeting, tim procurement bersama dengan tim design dan content beberapa kali mengajukan pertanyaan.

"Baiklah, itu saja meeting kita untuk persiapan training bulan ini. Oh ya, ada satu pengumuman lagi. Seperti kita tahu, Jay akan sangat sibuk bulan ini, jadi saya akan menunjuk asisten trainer untuknya. Brianna, kamu akan jadi asisten Jay. Teknis pekerjaanmu, silakan dibicarakan langsung dengan Jay ya." Beberapa orang bergumam sementara Brianna mengangguk dengan wajah sedikit pucat. Apalagi saat dilihatnya Jay hanya mengangguk sambil meliriknya.

Setelah itu, meeting dibubarkan. Fidel menggandeng Brianna dan mengajaknya menuju pantry untuk membuat kopi. Sementara yang lainnya, bergegas menuju meja kerja mereka masing-masing.

"Kenapa sih, kok lo pucat gitu. Takut kerja bareng Jay? Dia baik kok. Makanya banyak fansnya." Fidel bertanya sambil membuka pintu lemari untuk mengambil dua gelas dan mulai membuat kopi.

"Gue takut, Del. Lo inget nggak pas gue interview? Gue pernah ketemu Jay." Brianna membetulkan letak kacamatanya dengan gugup.

"Terus? Bagus dong kalau kalian pernah ketemu. Kan jadi lebih lancar nanti kerjasamanya."

"Masalahnya pas ketemu, gue nggak sengaja nabrak dia. Terus kopi yang dia bawa, tumpah." Mata Fidel terbelalak lalu dia tertawa terbahak-bahak.

"Sori, sori, Bee. Gue nyoba ngebayangin mukanya Jay. Pasti dia shock ya? Mana dia kan rada-rada OCD." Gadis berambut keriting itu mengusap air matanya yang keluar karena terlalu banyak tertawa.

"Apa tuh OCD?"

"Obsessive cleaning disorder. Dia suka segala hal yang rapi dan bersih."

"Mampus gue. Gue kan suka ...." Ucapan itu terputus ketika pintu pantry terbuka.

"Brianna, saya butuh kamu. Segera." Mata tajam itu menatap sekilas cangkir kopi yang sekarang tinggal separuh, lalu segera menghilang lagi.

"Del, gue cabs dulu. See you pas lunch ya," kata Brianna sambil melesat menuju meja kerja Jay.

Seperti deskripsi Fidel, Jay adalah orang yang perfeksionis dan rapi. Meja kerjanya mungkin adalah meja paling rapi di kantor itu. Nuansa hitam dan putih terlihat di meja itu. Laptop putih, tray dokumen berwarna hitam dan frame foto yang berisi kata-kata motivasi dengan bingkai berwarna hitam. Ada sebuah kotak kayu sederhana berisi alat tulis berwarna putih dengan jam mungil di bagian depannya.

"Sebagai asisten saya, untuk persiapan training minggu depan, saya butuh kamu untuk mencari game yang sesuai. Baca buku ini. Diskusikan dengan saya besok pagi untuk setidaknya lima sampai enam games yang sesuai." Jay langsung memberikan sebuah buku berukuran tebal berbahasa Inggris.

"Kenapa? Nggak ngerti ucapan saya?" Ucapan Jay membangunkan Brianna dari lamunan panjang.

"Hah? Baik, Pak. Saya ngerti. Besok saya akan infokan games yang sesuai."

"Just call me, Jay. Setidaknya kalau di kantor." Senyum menghias wajah tampan itu.

Mampus, muka gue pasti merah deh, gumam Brianna merasakan wajahnya memanas. Dia mengangguk lalu berjalan, sempat tersandung tempat sampah yang terguling dengan mengenaskan di bawah tatapan rekan kerja lain, akhirnya dia sampai di meja kerjanya dengan wajah yang semakin memerah.

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang