Chapter 9: Pertemuan

3.2K 293 1
                                    

"Jadi, gimana kerjaan lo, Bee?" tanya Mila saat mereka mengantri di gubuk sate padang.

Sejenak, Brianna memutar matanya. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa juga Mila menanyakan hal itu. Alunan gending jawa terdengar di tengah-tengah riuh percakapan orang-orang. Sabtu malam ini, dia menemani orangtuanya untuk pergi ke pernikahan anak teman mereka. Awalnya, dia pergi dengan rasa malas namun sesampainya di gedung tempat pernikahan, dia bertemu dengan Mila, sahabatnya sejak kuliah. Tentu saja ini jadi semacam reuni kecil yang menyenangkan. Mereka langsung menempel untuk mengobrol dan memisahkan diri dari orangtua masing-masing.

"Hem, lumayan." Jawaban Brianna memancing rasa ingin tahu Mila.

"Lo nggak cocok kerja di sana? Mau coba kerja jadi IT, nggak?" Mila nyengir lebar.

Setelah mereka wisuda, sahabatnya ini memang langsung diterima di perusahaan teknologi besar. Lulus cepat dengan nilai nyaris sempurna, menjadikan Mila valueable fresh graduate. Tentu saja banyak perusahaan teknologi yang mau menerima lamarannya. Sementara Brianna harus berjuang untuk mencari-cari pekerjaan yang sesuai untuknya.

"Nggak ah. Gue tetep nggak mau kerja di bidang IT," sahut Brianna sambil menerima sate padang dari pelayan.

Mila, yang juga sudah menerima sate padang bagiannya, menarik tangan Brianna yang bebas dan mengajaknya untuk mencari tempat. Berhubung tidak ada tempat strategis untuk ngerumpi, mereka terpaksa harus puas berdiri di sebelah gubuk martabak yang baru saja habis.

"Lo tuh aneh deh, Bee. Semua orang pasti kepinginnya kerja di bidang mereka kuliah." Baiklah, Mila sudah mulai merepet seperti orangtuanya dulu saat dia memutuskan untuk bekerja bukan di bidang IT.

"Kan gue udah bilang. Kalau gue pegang web seminggu, gue masih tahan. Tapi kalau berbulan-bulan, duh nggak deh. Gue bisa stress. Mendingan kaya sekarang, gue bisa jalan-jalan, ketemu banyak orang, dapat ilmu baru. Beberapa orang memang beruntung mendapatkan apa yang mereka mau sejak awal, sedangkan sebagian yang lain terpaksa mencari-cari jalan menuju kebahagiaan mereka. Kayaknya sih gue termasuk yang sebagian lain ini." Mila tersenyum melihat sahabatnya.

"Okay. Lo kayanya bahagia di sana. Ada yang ganteng-ganteng nggak? Atau macam oppa-oppa korea gitu?" tanya Mila penasaran.

Brianna tertawa dengan gugup mendengar pertanyaan Mila. Entah mengapa, wajah Jay yang pertama kali melintas di benaknya. Mungkin otaknya mulai error. Dia merapikan kutu baru yang dipakainya untuk menutupi rasa gugup.

"Nah, ada ya? Kayak apa gantengnya?" cecar Mila.

"Hem, kayak orang di sana itu. Tinggi, rambut rapi, hidung mancung, mata tajam." Brianna menunjuk dengan asal laki-laki yang mengenakan jas berwarna abu-abu beberapa meter di depan mereka. Berhubung malam itu dia memakai soft lens yang sepertinya harus diganti karena minusnya sudah bertambah, dia hanya melihat samar-samar.

"Wah, ganteng banget dong," seru Mila berseri-seri.

Brianna hanya mengangkat bahu dan beranjak untuk mengambil air putih. Sahabatnya mengekor. Mereka berjalan melewati si jas abu-abu. Mila mencolek bahu Brianna.

"Tuh si abu-abu beneran ganteng deh. Kalau di kantor lo banyak yang model gitu, gue percaya lo betah." Ini sahabatnya kenapa deh, mendadak centil banget.

"Lo kenapa sih, centil banget. Kepingin punya pacar terus buru-buru kawin ya? Mentang-mentang euforia kondangan," gerutu Brianna. Dia mengambil segelas air dan mereguknya sekaligus.

"Namanya juga usaha. Setiap perempuan kan pingin nikah kali, Bee. Lo juga kan? Eh, lo normal kan?" Mila mulai tertawa geli dengan pertanyaannya sendiri.

"Nggak. Gue nggak normal. Karena gue mau nanti nikah sama orang yang bener-bener cintaaa banget sama gue. Kalau perlu nggak usah pakai pacaran," jawab Brianna gemas.

Mendadak wajah Mila berubah. Cengiran jahil di wajahnya menghilang, digantikan dengan tatapan takjub. Matanya menatap jauh ke belakang. Brianna mengangkat sebelah alisnya.

"Dia kesini, Bee," bisik Mila sambil merapikan rambutnya yang sudah sempurna rapi.

"Siapa yang kesini? Dan kenapa juga mesti bisik-bisik?" tanya Brianna sambil balas berbisik.

"Si jas abu-abu. Ooh dia ke sini. Dia ke sini." Rasanya Brianna mau mencubit sahabatnya sekali saja supaya dia kembali waras. Baru saja dia mau melakukan itu, sebuah tangan besar mampir di bahunya. Deja vu dengan ulah Lexy sebelumnya di kantor, sejenak gadis itu membeku.

"Nggak mungkin kan ada Lexy di sini," batinnya dalam hati.

Mila sepertinya sudah hampir pingsan dengan mata terbelalak. Brianna memutar tubuhnya dan terkesiap. Dari sekian banyak tempat gedung kondangan, kenapa juga dia harus bertemu orang ini di sini.

"Hai, Brianna. Kamu ke sini juga? Sama siapa? Temannya ya?" tanya laki-laki sambil tersenyum ramah. Senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya kecuali Brianna sudah selesai lap meja, menata dokumen sesuai abjad dan perlengkapan training tertata secara artistik yang menuntut jam kerja lebih panjang.

"Jay?" Entah kenapa dia hanya bisa menyebutkan nama atasannya sambil berbisik. Sementara Mila mencengkram tangannya sampai dia merasakan kuku sahabatnya itu menancap di telapak tangan.


Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang