Chapter 38: Tercyduk

2.5K 258 4
                                    

Brianna keluar dari ruang kerja Pak Melviano dengan lesu. Keteledoran membuatnya harus berhadapan dengan Pak Melviano. Hampir 30 menit dia di ruangan manajer itu. Dari sudut mata, dia melihat Lexy berjalan menghampiri.

"Lo nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Lexy dengan raut khawatir dan mengikuti langkah Brianna menuju cubiclenya.

"Totally good. Udah ya, Lex. Gue mau ngerapiin ini." Brianna mendorong Lexy dengan halus. Dia hanya ingin sendiri.

"Oh, okay. Anytime lo perlu gue, hari ini gue di sini. Bikin proposal PT Q yang minta macem-macem." Lexy memutar bola matanya dengan dramatis, mengacak rambut gadis yang masih duduk lesu itu lalu pergi.

Brianna menatap tumpukan barang di hadapannya. Baginya, ketika sedang sedih maka bekerja dengan tenaga akan membantu mengalihkan pikiran. Dia mulai memilah barang yang akan dikembalikan ke gudang, merapikan lego dan mulai menyusun laporan setelah training. Bekerja membuatnya lupa sesaat dengan ucapan Pak Melviano.

Tadi, dia bukan hanya ditegur mengenai kinerjanya yang menurun tapi juga tentang bagaimana dia berbicara. Pak Melviano merasa dia terlalu vokal. Brianna bingung dalam hal ini. Apa maksudnya dengan vokal? Dia merasa tidak pernah mengganggu orang apalagi membicarakan orang lain. Mungkin, setelah suasana hatinya membaik, dia akan bicara dengan Fidel untuk meminta pendapat sahabatnya itu. Belakangan ini Fidel jarang ke kantor, dia sedang mengurus tender besar. Management Training yang baru saja selesai, sukses menjadi percontohan training di Future With Us sehingga Fidel menawarkan metodenya ke banyak perusahaan lain.

Dia mengambil kunci gudang lalu beranjak untuk memasukan sisa barang training ke gudang. Setelah mengembalikan semua barang, gadis itu ke toilet untuk mencuci tangan. Iseng, dia memperhatikan bayangan yang terpantul di kaca toilet. Matanya sedikit bengkak dengan lingkaran hitam. Brianna mengusap wajahnya, dia akan mengurus muka nanti saja saat akhir pekan.

"Jay, lo ngapain Brianna sih?" Otomatis kaki Brianna berhenti ketika mendengar namanya disebut.

Saat itu, dia baru saja keluar dari toilet. Di lorong antara toilet dan lift, dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Sambil mengintip untuk melihat siapa yang bicara, dia merapatkan badan ke tembok. Jay dan Lexy sedang berbicara. Brianna ingat, mereka memang dijadwalkan meeting hari ini untuk membahas materi training yang akan diajukan bersama dengan proposal Fidel.

"Gue nggak ngapa-ngapain dia," sahut Jay.

"Nggak mungkin, setiap ada lo, dia ketakutan setengah mati. Kalau ngurusin training lo, dia sampai checklist berkali-kali macam petugas sensus takut salah ngedata penduduk. Pasti ada ucapan lo yang nyakitin dia, Jay." Lexy menatap temannya dengan tajam.

Brianna melihat Jay terdiam. Mungkin laki-laki itu mengingat semua kata-kata yang ditumpahkan padanya. Entah mengapa, dada gadis itu berdebar menunggu jawaban dari Jay yang masih saja terdiam.

"Gue akuin, waktu di Yogya itu gue ngomong keras sama dia. Tapi waktu di sini, gue udah minta maaf kok. Harusnya masalah kita beres." Lexy kembali menatap temannya. Jay memang jarang berhubungan dengan perempuan. Perempuan itu kalau berkata "tidak apa-apa" maka berarti sebaliknya.

"Yaelah, lo kaya masih hijau aja nggak tau sifat cewek," kata Lexy.

Brianna mengintip ketika Lexy menggelengkan kepala mendengar ucapan temannya lalu memutuskan untuk pergi. Padahal gadis itu penasaran sekali kelanjutan ucapan Jay.

"Lo duluan aja, Lex. Gue mau nelepon dulu." Lexy melambaikan tangan dan beranjak masuk ke dalam lift sementara Jay mengangkat gawainya dan menelpon.

Brianna mulai pegal berdiri dalam posisi yang tidak nyaman. Saat dia memutuskan untuk kembali ke toilet dan menunggu suasana aman, gawainya berbunyi. Pasti Fidel yang menelepon untuk makan siang. Tanpa melihat nama penelpon, dia mengangkatnya.

"Lain kali kalau nguping, jangan berdiri kaya gitu. Pegel ya? Keliatan jelas deh dari pantulan kaca." Suara itu terdengar geli. Jay. Mendadak Brianna kaku.

"Sial, gue lupa lorong antara lift dan toilet ada kacanya," kata Brianna dalam hati dengan wajah pias.

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang