Chapter 20: Telat

2.6K 220 3
                                    

Orang bijak berkata, janganlah pernah terlalu berpuas diri. Bahasa sederhananya, jangan sombong. Mungkin inilah yang seharusnya diingat Brianna untuk selalu rendah hati. Usulan gadis itu untuk standar checklist, dipuji oleh banyak pihak. Mulai dari bagian account executive, content, procurement sampai Pak Melviano sebagai manajer juga memuji inisiatifnya. Hal yang paling membanggakan tentu saja saat dimana Jay tersenyum, mengacungkan jempol dan berkata, "Saya suka ide kamu. Ini bermanfaat bagi banyak pihak."

Bila gadis berkacamata itu tahu akan mengalami hal yang luar biasa setelahnya, tentu dia tidak akan cepat berpuas diri. Hanya tiga hari sejak dia berhasil membuat alat yang bisa membantu kerja menjadi lebih efektif, kejadian itu datang.

***

Terminal satu Bandara Soekarno-Hatta di sore hari terlihat ramai. Terlihat dua orang anak-anak berlari saat mengambil troli. Ibu mereka tertawa ketika kedua anak itu bergantian mendorong troli menuju tumpukan barang mereka. Brianna keluar dari taksi yang ditumpanginya. Supir taksi membantunya menurunkan koper, sementara dia mengambil ransel laptop dan tas selempang. Cuaca terlihat mendung dengan gerah yang menyebabkan rambut gadis itu lengket di tengkuk.

Setelah membayar taksi, gadis itu melangkah dengan santai sambil mencari-cari ikat rambut di tasnya. Setelah mengikat rambutnya, dia menyempatkan diri untuk melirik gawai yang sedari tadi ditaruh di tas. Dia terbiasa tidur dalam perjalanan, tidak terkecuali sore ini.

Hem, tumben banyak banget miss called-nya, gumamnya. Dia memang terbiasa memakai silent mode di gawainya.

"DEMI APA?!" teriak gadis dengan rambut panjang itu sambil menoleh ke kanan dan kiri.

Seorang ibu setengah baya menjatuhkan tasnya karena kaget mendengar teriakan Brianna. Dengan muka shock, ibu itu pergi sambil menggumamkan kata-kata seperti: anak sekarang memang aneh-aneh. Sementara itu, seorang perempuan muda terkikik geli melihat Brianna berteriak lalu bertingkah seperti orang bingung mencari tempat perlindungan saat serangan datang.

Gawai Brianna berkedip-kedip karena silent mode-nya masih belum diubah. Ada nama sahabatnya di layar gawai. Buru-buru dia mengangkat telepon itu.

"Ahhh, lo gila kali ya, Bee. Gimana sih telepon nggak ada yang diangkat. Ini gimana kok lo bisa ketinggalan pesawat?" Suara Fidel, sahabatnya sekaligus Key Account di tempatnya bekerja terdengar panik.

"Gue pikir, boarding-nya jam 16.00," sahut Brianna dengan suara memelas. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Duh, dodol banget sih. Jam 16.00 itu lo udah sampe di Yogyakarta. Gilaaa, Jay marah banget. Dia coba nelpon lo puluhan kali, tapi nggak lo angkat." Sekarang Brianna benar-benar akan menangis.

"Gimana dong ini, Del?" tanyanya kebingungan. Suaranya bergetar menahan air mata yang siap tumpah.

"Sana, cari tiket lagi. Beli pakai duit sendiri ya. Kali ini, gue nggak bisa bantuin lo. Sorry, Bee. Jangan lupa hubungi Jay. Kalau ada apa-apa, whatsapp aja. Gue mau nemenin nyokap ke rumah sakit. Take care." Setelah Fidel memutuskan sambungan, Brianna mengintip aplikasi whatsapp-nya. Dia buru-buru menutup mata ketika dilihatnya nama Jay ada di paling atas aplikasi itu.

Setelah menarik napas beberapa kali, gadis itu perlahan membuka matanya. Zayyan Zlatennera atau biasa dipanggil Jay, adalah seorang trainer. Sebagai asisten trainer, tugas Brianna adalah memastikan semua persiapan pelatihan berjalan dengan lancar. Ini adalah bulan ketiga dia bergabung, namun pekerjaannya masih berantakan. Hari ini, bukan hanya berantakan, ini BENCANA.

 Hari ini, bukan hanya berantakan, ini BENCANA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oke, tenang, Bee. Cari jalan keluar", gumam Brianna dengan tangan gemetar mencoba mencari tiket tujuan Yogyakarta berikutnya. Terpaksa dia menjebol tabungannya selama tiga bulan ini yang diperuntukkan dana darurat. Setelah mendapatkan tiket, dia bergegas membalas pesan Jay. Dia berjalan dengan langkah pelan untuk menukar tiket dan bersiap boarding.

Matanya melirik gawai yang kini lembap karena terus digenggam dengan tangan yang berkeringat. Dia tidak bisa membayangkan apa balasan yang akan dia terima dari Jay. Demi segala bolpoin macet, Jay adalah makhluk terakhir yang seharusnya dia buat marah. Laki-laki itu sangat mengerikan kalau marah, semua kegantengannya lenyap tidak bersisa.

"Yah, ini semua sudah terjadi. Hadapi saja masalah ini". Brianna menghela napas pahit ketika tidak ada balasan satu pun dari atasannya itu padahal seharusnya, Jay sudah landing sejak dua puluh menit yang lalu. 

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang