Chapter 7: Sial

3.6K 314 0
                                    

Jam delapan pagi di Future With Us adalah jam-jam bising ketika suara sapaan selamat pagi terdengar dimana-mana. Brianna berjalan pelan memegang gelas kopi dengan hati-hati.

"Pagi." Suara itu menggelegar dan mengagetkan. Hampir saja Brianna melempar gelas kopinya.

"Lo abis nelen toa? Sumpah deh. Untung nggak ada adegan gelas kopi terbang dan gue ngelap-ngelap lantai." Brianna menoleh dan menatap seseorang di hadapannya dengan berapi-api.

"Bee, gue dimari, kali. Nih pakai kacamata dulu." Lexy memakaikan kacamata yang sejak tadi bertengger di atas kepala Brianna.

Laki-laki itu tertawa terbahak mengingat temannya tadi sibuk memarahi pilar di ruang divisi mereka. Brianna memeloti Lexy yang sekarang memegangi perutnya sambil tertawa. Sebentar lagi, pasti dia pingsan karena kebanyakan tawa. Beberapa orang melewati mereka sambil memandang dengan heran.

"Puas, puas, puas, ketawanya," Brianna memicingkan mata. Sepertinya dia harus ke dokter mata minggu ini. Penglihatannya semakin parah, ditambah lagi dia suka lupa dimana kacamatanya.

"Sini, gue bantu," kata Lexy setelah puas tertawa. sambil mengambil alih gelas kopi dari tangan Brianna dan berjalan cepat.

"Lo kenapa sih? Lemes banget?" Setelah seminggu kenal, Lexy mengubah panggilan mereka menjadi gue-lo, katanya biar lebih akrab.

"Gue abis kelar training di Kelapa Gading. Setiap hari jalan jam setengah lima pagi, pulang jam sembilan malem. Teler gue," jawab Brianna sambil menguap lebar-lebar.

"Ebuset gede amat mangapnya. Yah, sabar-sabar ya, Bee. Namanya juga kerja." Senyum gadis itu merekah.

Lexy adalah temannya yang paling akrab di kantor ini setelah Fidel. Walaupun seringkali dia jadi korban kejahilan Lexy seperti barusan tapi setidaknya dia punya teman yang menyemangati.

"Ngomong-ngomong, koper kebesaran lo yang isinya segala macem barang itu kemana?" Lexy bertanya sambil mengintip ke kolong meja.

Brianna menepuk jidatnya dengan keras. Bagaimana mungkin dia bisa lupa. Sambil menyambar id card, dia bergegas berlari menuju lift. Sejenak Lexy bengong, lalu kembali tertawa. Temannya itu pasti meninggalkan koper di lobi kantor saat dia mencari id card untuk masuk ke gate yang menuju ke lift.

Sementara itu, Brianna berlari dengan kecepatan penuh menuju lift, menunggu dengan gelisah lalu segera masuk ketika pintu lift terbuka. Di lobi kantor, dia melihat koper hitam yang berisi perlengkapan training, ada di pinggir meja resepsionis lobi utama.

"Ya ampun, Mbak Brianna, ini loh kopernya ketinggalan," seru Pak Tanra, security kantor yang bertugas pagi ini sambil membawakan koper keramat.

"Makasih ya, Pak Tanra," sahut Brianna sambil tersenyum dan membungkukkan badannya sedikit.

Setelah koper hitam aman, gadis itu kembali naik ke lantai tempatnya bekerja. Menjelang jam kerja, lift semakin padat. Dengan sedikit keberuntungan, Brianna bisa menyelinap di pojokan lift dan menutup matanya. Dia mencium harum Boss Bottle yang sangat manly.

"Kamu kenapa?" Sebuah suara kembali mengagetkannya.

Saat membuka mata dan mendongak ke arah suara, dia melihat sepasang mata tajam menatap dengan heran. Jay, si penggila kebersihan dan kerapian, menatapnya lekat. Siapa sih yang nggak heran lihat perempuan dengan rambut dicepol, berjalan seperti kain pel basah yang lemas.

"Ganti parfum ya?" Brianna mengutuk ketidaksinkronan antara otak dan mulutnya. Kenapa juga dia malah nanya parfum.

"Hah? Iya sih. Tadi saya ganti parfum." Jay tersenyum. Mungkin dia terkejut karena Brianna menyadari perubahan kecilnya.

"Duluan ya, Jay," seru gadis itu begitu lift sampai di lantai tempat mereka bekerja.

Sebelum Jay sempat bereaksi, Brianna segera menuju meja kerjanya. Menyeret koper berat itu dengan kekuatan bulan kesiangan. Merasa lega karena Lexy sudah kembali ke mejanya sendiri, gadis itu menghempaskan diri di kursi.

Baru saja dia duduk dan menyeruput kopi yang mulai dingin, sebuah pesan whatsapp masuk ke gawainya.

Fidel: Lunch bareng ya. Gue ke kantor abis meeting pagi ini. Sekalian ada yang mau gue ceritain.

Brianna membalas pesan itu sambil tersenyum. Makan siang bersama Fidel mungkin bisa boosting semangatnya.

Setelah selesai membalas pesan, gadis itu bersiap untuk merapikan koper. Dia ternganga saat koper hitam itu terbuka. Tidak ada satupun perlengkapan training ada di sana. Sebagai gantinya, tumpukan baju-baju yang terlipat rapi terlihat di sana.

"Mati gue. Kenapa juga kopernya ketuker sama koper gueeeee." Rasanya Brianna mau nangis sambil ketawa dan kayang. Koper training yang dia bawa dari kantor memang sama dengan koper pribadinya. Berhubung dua hari lagi dia harus keluar kota, dia sudah menyicil persiapan. Sementara tadi malam, karena malas mampir ke kantor untuk menaruh koper, dia membawa koper perlengkapan training ke rumah. Siapa sangka, dia malah membawa koper berisi pakaian ke kantor.

Kata orang, hoki dan sial adalah suatu kondisi yang sudah tercatat dalam perjalanan hidup seseorang. Brianna meyakini, inilah hari sial dimana sebagian ingatan dalam otaknya merembes keluar perlahan-lahan.

***

Haiiii ... doakan yaaa aku bisa terus nulis. Anak gadis demam 😁. Jangan lupa vote dan komennya ya. 😘😘

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang