Chapter 10: Pertemuan (2)

3.1K 286 6
                                    

Sejujurnya, selama satu bulan lebih bekerja di Future With Us, Brianna belajar banyak hal. Jay, sebagai atasannya, mengajari berbagai hal. Mulai dari bagaimana filing dokumen dengan rapi, menyiapkan peralatan training sampai bagaimana cara memainkan berbagai macam games.

Jay, laki-laki ekstrovert yang hobinya minum kopi tanpa gula setiap jam sembilan pagi dan jam empat sore itu juga memiliki sisi baik walaupun bawelnya nyaris tidak tertahankan. Mungkin karena Brianna termasuk tipe orang yang agak teledor dan lebih mudah lupa ingatan.

Seharusnya gadis itu menyadari kehadiran Jay. Kalau di kantor, dia gampang kaget saat Jay tiba-tiba muncul dan mengkritik entah debu atau ketidakrapian meja, maka dia terbiasa mengaktifkan radar-Jay. Selain menjaga kesehatan jantung, juga untuk membantunya bersiap beres-beres. Mungkin kalau di luar kantor, radarnya kurang aktif karena saat ini Jay sedang berkenalan dengan Mila.

"Em, okay, kalian udah kenalan kan ya? Boleh kami pergi?" Pertanyaan Brianna tentu mendapat protes dari Mila. Bukan dengan suara melainkan tatapan mata yang seakan berkata lo-ajak-pergi-gue-gebok-lo. Sungguh, ini bukan Mila yang biasanya Brianna kenal.

Sementara Mila basa-basi berkenalan dengan Jay, gadis itu iseng mengambil puding cokelat dengan vla yang banyak. Dilihatnya buah semangka, merah menggoda yang langsung diambil dan diletakkan di piring puding.

"Kamu makan puding pakai semangka?" tanya Jay heran.

"Iya. Emang kenapa? Enak kok. Lagian kan di perut nanti juga kecampur," sahut Brianna cuek sambil menyuapkan puding dan semangka bersamaan.

"Puding sama semangka mah soal kecil. Dia pernah makan nasi pakai es krim. Pakai oreo juga pernah," celetuk Mila tanpa rasa bersalah.

"Terus aja bongkar aib," ucap Brianna dalam hati dan mengeluarkan kata-kata itu dengan kekuatan mata. Belum sempat dia berkata-kata, masuk pesan dalam aplikasi whatsapp-nya.

Setelah membaca pesan itu, dia mendesah lalu menatap sahabatnya yang masih asyik membongkar segala aib yang dia punya.

"Mil, pulang yuk. Bokap nyokap gue nyuruh duluan. Mereka mau lanjut ngopi-ngopi sama temen-temennya termasuk bokap nyokap lo. Ngantuk gue." Berlagak ngantuk, Brianna menguap lebar.

"Nggak mau, ah. Lagi ngobrol nih. Tanggung." Lah si kutu loncat itu malah kecentilan ngobrol sama Jay.

"Yah, masa gue pulang sendiri," sungut Brianna.

"Saya antar deh. Yuk, saya juga udah bosan di sini," sahut Jay tiba-tiba.

"Iya deh. Gue juga bosan." Kalau lagi nggak di kondangan, pingin rasanya Brianna jitak sahabatnya itu. Tadi dia ajak pulang nggak mau, begitu Jay mau antar, dia malah langsung samber.

"Kalau lo kecentilan gitu, gue nggak mau ngakuinnlo sahabat gue," bisik Brianna ketika dia terpaksa menerima tawaran Jay. Bagaimana tidak terpaksa menerima, ternyata Jay adalah anak dari om Broto Suryadiputra, sahabat dan kakak kelas ayahnya semasa kuliah.

"Kamu kok diam?" tanya Jay di dalam mobil. Brianna duduk di belakang dan membiarkan si centil Mila duduk di depan.

"Pusing," sahutnya singkat.

Pusing ini bukan main-main, dalam satu malam rasanya ribuan informasi membanjiri benaknya. Kalau orangtuanya sahabatan dengan orangtua Mila, itu masih bisa dimaklumi. Tapi om Broto? Brianna meringis dalam hati. Om Broto adalah satu dari sekian banyak teman orangtuanya yang beberapa kali mampir ke rumah. Mereka seringkali bernostalgia dan mengobrol sampai larut malam. Brianna hanya tahu kalau om Broto memiliki dua anak. Putranya bersekolah di Sydney. Tidak disangka, itu adalah Jay.

Jay memperhatikan tingkah Brianna dari spion tengah. Dia heran melihat gadis yang biasanya berisik dan nabrak-nabrak atau melupakan sesuatu, malam ini terlihat diam.

"Mau beli obat dulu? Atau makan di mana gitu biar pusingnya ilang?" Brianna melirik Jay yang menatapnya.

"Nggak usah, makasih. Ngomong-ngomong kenapa nggak bilang kalau kamu anaknya om Broto?" Stupid question yang meluncur begitu saja.

"Memangnya kita perlu ngenalin nama orangtua di kantor?" Jay tertawa geli sementara Mila menonton mereka bicara seperti melihat pertandingan tenis, kiri kanan, kiri lagi.

Jay menjalankan mobil. Seperti meja kerjanya yang rapi, interior mobil ini juga sangat rapi. Brianna bisa menebak kalau Jay pasti tidak akan membiarkan satu orang pun untuk mengubah interior mobilnya. Gadis itu memejamkan mata saat kepalanya makin terasa sakit. Didengarnya Mila mengobrol dengan Jay, yang disadarinya berbeda dengan saat bicara dengan Bunga di Tepi Jalan, laki-laki itu saat ini cukup rileks dan terbuka.

"Bee, lo nggak apa-apa?" Pertanyaan Mila terdengar sayup.

"Hah? Eh-oh, nggak. Nggak apa-apa kok." Dia pasti tertidur sesaat tadi.

"Kenapa kamu dipanggil, Bee?" tanya Jay penasaran. Tumben dia pingin tahu. Kemarin-kemarin pas di kantor, dia hanya melengos ketika anak-anak menanyakan hal yang sama.

"Panggilan dari kecil," sahut Brianna singkat. Dia memijat kepalanya, mengecek rasa sakit yang sudah berkurang.

"Padahal Brianna itu nama yang cantik. Bahasa celtik yang artinya perempuan kuat yang memiliki arti selera yang bagus dan tidak mudah terpengaruh." Pipi Brianna memerah mendengar ucapan Jay.

"Hoi sadar, dia kan cuma bilang NAMA lo yang cantik. Bukan lo yang cantik."

Mila tertawa mendengar kata-kata Jay dan melihat pipi gadis cantik yang duduk di bangku belakang, memerah. Sepertinya Brianna mengungkapkan banyak hal malam ini.

"Bener tuh. Dia nggak gampang terpengaruh. Padahal dia lulus nyaris cum laude di IT, tapi nggak mau kerja jadi IT engineer. Otaknya encer dan web-web yang dia bikin cakep banget." Cerocos Mila sambil menggelengkan kepala seakan menyesali keputusan Brianna.

"Kamu lulusan Teknologi Informasi?" tanya Jay yang entah kenapa terlihat takjub. Brianna hanya mengangguk, enggan untuk menjelaskan sekali lagi kenapa dia tidak mau menjadi IT.

"Memang kadang jurusan saat kuliah tidak sesuai dengan keinginan saat bekerja. Kamu hanya bisa mencoba menjalani keinginanmu untuk tahu apakah itu cocok atau tidak."

Seakan mendapat penglihatan baru, Brianna menatap lekat Jay. Baru pertama kali ini ada orang yang menyetujui tindakan dan tidak menyesali keputusannya untuk bekerja di bidang yang lain dari jurusan kuliahnya. Mungkin Jay sebenarnya tidak seburuk yang dia pikir. Di balik kebawelannya, mungkin laki-laki bermata tajam itu bisa melihat apa yang diimpikannya dan dengan perasaan aneh, Brianna merasa dia bersyukur dengan dukungan Jay.

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang