Chapter 22: Harborage

2.5K 243 0
                                    

Kenangan apa yang paling berkesan dari hidupmu? Bagi Brianna, pulang ke rumah Eyang adalah momen yang selalu berkesan dalam hidupnya. Eyang Martodirejo, orangtua dari ayahnya, tinggal di pinggiran Yogyakarta. Rumah dengan halaman luas yang ditanamani pohon mangga dan rambutan itu selalu terlihat asri. Ke rumah inilah, Brianna pulang setiap tahunnya pada saat liburan sekolah dan hari raya.

Harum bunga melati dan sweet allysum menyerbu indera penciuman Brianna. Gadis itu membenarkan letak kacamatanya yang sedikit merosot, lalu membuka pintu gerbang. Terdengar keriut logam ketika gerbang itu terbuka. Pintu rumah menjeblak terbuka ketika Eyang Puteri, berseri-seri dan terlihat sehat, keluar rumah.

"Nduk, ndak ngabar-ngabari ada di sini. Duh, Eyang senang banget kamu mau mampir." Brianna tersenyum, mengambil tangan tua itu dan menciumnya takzim.

Eyang Puteri memang selalu berbahasa Indonesia dengan Brianna. Beliau memaklumi cucunya ini kesulitan berbahasa Jawa. Sejenak, kedua orang berbeda generasi itu berpelukan.

"Maaf, Yang. Aku kan kerja, jadi baru ngabari setelah kerjaannya selesai," jelas Brianna setelah pelukan mereka terlepas.

"Iya, ndak apa. Ayo masuk. Kamu mau makan apa? Kurus banget kamu, Nduk." Brianna tertawa mendengar kata-kata Eyangnya.

Bagi seorang Eyang, semua cucunya yang datang pasti terlihat kurus. Eyang pasti akan sibuk memasakkan semua masakan yang luar biasa menggoyang lidah, yang tidak akan bisa ditolak. Waktu kecil, Brianna senang sekali menemani Eyang memasak. Dia selalu terpesona menyaksikan tangan Eyang menyulap bahan masakan menjadi berbagai macam makanan lezat. Tidak pernah ada masakan yang gagal di tangan Eyang Puteri. Namun, semenjak Eyang Kakung meninggal beberapa tahun silam, semangat Eyang Puteri untuk menciptakan menu masakan baru perlahan meredup. Mungkin ketiadaan sosok Kakung, membuat Eyang kesepian.

Makan siang hari ini adalah gudeg lengkap yang dimasak dengan kuali tanah liat. Brianna sampai tambah dua kali, saking lezatnya masakan Eyang. Sosok tua itu tertawa melihat cucunya makan dengan lahap.

"Kamu mau minta makanan apa, Nduk?" tanya Eyang sambil mengelus tangan Brianna.

"Tengkleng gajah, Yang," sahut gadis itu sambil mengambil lagi sambal krecek.

Tengkleng gajah bukan terbuat dari gajah. Eyang biasanya mengolah tulang iga kambing yang masih penuh dengan daging. Porsi yang besar, membuat cucu-cucu Eyang Martodirejo menjulukinya tengkleng gajah. Membayangkannya saja, Brianna harus menelan air liur. Sekali lagi, Eyang Puteri tertawa melihat kelakuan cucunya.

"Baiklah. Besok kita akan makan tengkleng gajah. Sekarang cerita sama Eyang, kamu ada masalah apa?" tanya Eyang sambil menyodorkan teh pahit yang harum. Brianna bisa melihat racikan teh tubruk buatan sendiri yang dibuat Eyang.

Seolah mengulur waktu, Brianna malah beranjak untuk mencuci tangannya. Eyang menunggu dengan sabar. Cucunya yang satu ini memang keras kepala namun tidak sembarangan bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya. Pergi ke rumah Eyang Puteri sebenarnya tidak ada dalam rencananya. Konfrontasinya yang terakhir dengan Jay, membuat Brianna mengambil keputusan ini. Rumah asri di Sleman ini adalah Harborage-nya, suaka tempatnya melarikan diri.

Gadis itu tahu, melarikan diri dari masalah, adalah tindakan pengecut. Tapi dia lebih baik pergi ke rumah Eyang daripada harus satu pesawat dengan Jay. Tidak setelah kejadian semalam.

"Nanti malam saja kuceritakan ya, Yang," kata Brianna akhirnya setelah menghirup teh hangatnya yang harum.

"Ya. Eyang ngerti kamu masih butuh waktu. Kapan saja kamu mau cerita, silakan ya, Nduk." Brianna tersenyum. Eyangnya adalah seorang yang sangat pengertian. Dering gawai yang berbunyi kemudian mengalihkan perhatian gadis itu.

*
Image credit by kingbrielle.wordpress.com

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang