Chapter 35: Hari Ketujuh

2.4K 236 0
                                    

Ketika masih berkuliah, Brianna seringkali memimpikan masa depannya. Dunia kerja yang dinamis, sibuk, kaya akan pengalaman dan menyenangkan. Namun, tidak satu kali pun terlintas dalam pikirannya bahwa dunia kerja yang akan dimasukinya, juga merupakan dunia penuh ketidaktahuan. Di dunia kerja, Brianna belajar bukan hanya tentang profesinya, tapi juga pengenalan dirinya sendiri.

Gadis yang sedang berdiri di depan wastafel toilet hotel itu menghela napas dan mengusap wajahnya. Dia boleh saja berbuat kesalahan sampao rasanya mau membenamkan diri ke dalam tanah tapi the show must go on. Mencoba profesional, sekali lagi Brianna mengusap wajahnya dan mencoba tersenyum. Bengkak dan lingkaran hitam di matanya sudah berkurang setelah di kompres.

Di ruang training, Brianna mengingat menyiapkan semua keperluan di atas meja yang mudah dijangkau. Dia berulang kali mengecek keperluan training hari itu supaya tidak ada lagi kesalahan. Pak Melviano mengatakan akan bicara padanya setelah rangkaian program training ini selesai. Itulah yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Apapun bisa terjadi sesuai dengan keputusan Pak Melviano.

"Hey, are you okay?" Lexy bertanya dengan raut wajah khawatir.

"Ya. I'm oke." Brianna memberikan senyumnya.

Sejenak Lexy ingin mengatakan sesuatu, tapi seorang peserta mendatangi mereka dan mendiskusikan masalah keuangan dengan laki-laki itu. Brianna hanya tersenyum tipis, dia menoleh dan menatap Pak Alvin yang baru saja memasuki ruangan dengan tongkat di kedua tangannya. Gadis berkacamata itu bergegas menghampiri dan membantu Pak Alvin untuk duduk. Cedera yang dialami saat outdoor activities membuat peserta itu harus memakai bantuan tongkat untuk berjalan supaya tidak membebani kakinya yang terluka.

"Terima kasih, Mbak Brianna. Ngomong-ngomong, kenapa kamu terlihat sedih?" Pertanyaan Pak Alvin langsung menohok hati Brianna. Sekuat tenaga gadis itu menahan diri agar tidak lepas kendali.

"Saya nggak apa-apa, Pak. Terima kasih atas perhatiannya. Bapak sendiri bagaimana kondisi kakinya? Masih terasa sakit sekali?" Pak alvin tertawa mendengar rentetan pertanyaan.

"Semakin membaik. Terima kasih juga untuk Mbak Brianna. Kalau saja Mbak Brianna nggak cekatan, mungkin kondisi saya lebih parah dari sekarang," kata Pak Alvin memuji.

Sejenak Brianna tertegun mendengar ucapan laki-laki setengah baya di hadapannya yang tersenyum tulus. Baginya yang seringkali membuat kesalahan, melupakan sesuatu dan ceroboh, kata-kata Pak Alvin adalah oase di tengah gurun pasir.

"Apa pun masalahnya, saya yakin Mbak Brianna bisa selesaikan dan kuat dalam menjalankannya," kata Pak Alvin lagi, masih tersenyum tulus.

Brianna berjalan ke arah meja untuk asisten trainer di bagian belakang ruangan. Waktu sudah menunjukkan jam delapan pagi. Lexy membuka training dengan sapaan khasnya. Sambil duduk, sekali lagi Brianna mengecek kelengkapan untuk hari itu. Sambil memandang ke arah depan, dia menyadari kenapa orang-orang mengatakan bahwa belajar finance dengan Lexy itu menyenangkan. Laki-laki itu menggunakan bahasa dan analogi sederhana dalam menerjemahkan kalimat-kalimat finance. Dia juga menyelipkan gurauan di sela-sela materi yang membuat suasana kelas tetap segar.

Brianna mengecek gawainya dan mengernyitkan dahi ketika melihat pesan yang masuk. Fidel baru saja mengirim pesan yang memintanya untuk hadir dalam hari terakhir training besok. Padahal sesuai dengan kesepakatan, seharusnya Bunga yang mendampingi Jay saat hari terakhir.

Brianna: Del, besok Bunga aja deh.

Fidel: Nope. Lo juga harus dateng. Gue sama Lexy ada meeting. Kayanya sih Pak Melviano juga dateng. Tapi liat besok, katanya.

Briana menatap pesan itu dengan pandangan nanar. Kenapa juga dia harus terus berhubungan dengan makhluk bermulut tajam bernama Jay?

Miracle Work Of Happiness (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang