62. Bersyukur

101 4 0
                                    

Laurin tersenyum singkat pada Elvan saat mereka berdiri di depan gedung apartemen. Berkat cowok itu, kini Laurin tahu semua kebenarannya. Laurin sekarang tidak menyalahkan siapa pun. Ia menerima jika semua ini adalah takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya. Memiliki saudara seibu seperti Elvan, gadis itu sudah sangat bersyukur.

"Thanks ya, El. Berkat elo, gue jadi tahu semuanya. Besok, gue akan tanyakan ke bokap tentang kebenarannya. Lo benar! Rasanya nggak bijak jika gue hanya mendengar penjelasan dari satu pihak aja," kata Laurin.

"Syukurlah semuanya udah selesai," balas Elvan. "Gue harap, lo bisa lebih sering ketemu sama Mama."

Laurin mengangguk. "Iya. Gue bakal meluangkan waktu buat Ma ... ma."

Laurin berdehem. Panggilan Mama masih terasa asing di lidahnya. Betapa tidak? Sejak kecil dia hanya dirawat oleh orangtua laki-laki saja. Bahkan belasan tahun, ia mengira bahwa dirinya adalah anak piatu sejak bayi. Wajar jika ia terlihat kikuk saat mengucap kata Mama.

Elvan melihat arlojinya sebentar. Sudah pukul sepuluh. "Cepetan masuk! Udah malam."

"Gue bakal masuk, kalau lo panggil gue kakak," kata Laurin.

"Ha? Jangan bercanda!"

"Kenapa nggak mau sih? Gue kan kakak elo. Masa' lo mau panggil gue Laurin doang."

Elvan menghela napas jengah dengan kedua bola mata memutar malas. Berdebat dengan gadis cerewet bukanlah hobinya.

"Oke. Gue bakal ngucapinnya sekali. Nggak ada pengulangan," kata Elvan tegas.

Mata Laurin berbinar senang. Ia dengan antusias menunggu kata kakak keluar dari mulut Elvan.

"Ka ..." Elvan tercekat malu. Seumur hidupnya, tidak ada satu orang pun yang pernah ia panggil kakak.

"Ayo!" paksa Laurin.

"Ka ..."

Saking antusiasnya, mulut Laurin ikut mangap, menantikan kata kakak yang ingin ia dengar.

Tuuuuuutttt

"Kakak," kata Elvan bebarengan dengan suara klarkson.

"Apa? Gue tadi nggak denger. Ulangi dong!"

"Gue kan udah bilang, nggak ada pengulangan."

Laurin mendesis kesal. Matanya tersorot pada seorang cowok berambut hitam yang baru saja keluar dari mobil sport oranye. Karena klarkson yang dibunyikan cowok itu, Laurin jadi tidak bisa mendengar kata yang ia nantikan dari Elvan.

"Oi! Kalian ngapain di sini?" tanya Rega.

"Bukan urusan lo!" bentak Laurin kesal.

"Ya udah, Rin. Kalau gitu, gue balik dulu ya," pamit Elvan.

"Tapi, El. Gue kan tadi nggak denger apa yang lo katakan. Ulangi lagi dong, please!" bujuk Laurin.

Elvan melirik sebentar ke arah Rega, lalu menggeleng pelan.

"Kok gitu sih?" keluh Laurin.

"Nggak bisa. Gue kan udah bilang ke elo kalau nggak ada pengulangan."

"Ih nyebelin deh."

"Ini ngomong apaan sih?" tanya Rega heran.

"Bukan urusan lo!" ujar Laurin dan Elvan bebarengan. Mereka tercekat sejenak, saling menatap, lalu tertawa bersama.

"Gue pamit ya," kata Elvan.

Laurin mengangguk. "Iya deh. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut! Entar kalau udah nyampek, kasih tau gue."

"Iya."

"Nih orang berdua kenapa ya? Kok jadi care satu sama lain sih? Apa jangan-jangan ... Elvan adalah cowok yang disukai Alien? Apa mereka berdua pacaran?" Rega bertanya-tanya.

Laurin melambaikan tangan pada Elvan, disahut dengan hanya anggukan ringan. Bibir Rega mengerucut marah. Tangannya mengepal. Sungguh mengesalkan melihat Laurin tersenyum seperti itu pada cowok lain.

"Ada hubungan apa lo sama Elvan?" sergah Rega melipat tangan.

"Rahasia," balas Laurin. Ia dengan santainya berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Rega mengikuti langkahnya.

"Mana ada rahasia-rahasiaan. Lo kan bodyguard gue. Lo harus kasih tahu gue kenapa lo sekarang kelihatan dekat banget sama Elvan," tuntut Rega.

"Gue emang bodyguard elo. Tapi gue juga punya privasi keles."

"Kalian pacaran ya?"

"Enggak."

"Kenapa tadi lo kelihatan care banget sama Elvan? Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Gue pengen aja care sama dia. Salah ya?"

"Salah! Salah banget!" ujar Rega menaikkan volume suaranya.

Langkah Laurin terhenti. Ia menatap Rega dengan tatapan heran. Kenapa cowok itu jadi emosi? Dia bertanya-tanya.

Rega mendadak kikuk. "Kenapa ... ke ... kenapa lo lihatin gue kayak gitu?"

"Gue ngerasa aneh aja."

"A ... aneh kenapa?" tanya Rega gagap.

Rega masih tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Akhir-akhir ini, dia lebih sering memikirkan Laurin. Bukan hanya saat sebelum tidur saja. Setelah bangun tidur pun, ia tak sabar menemui Laurin. Bahkan sering kali ia tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kebodohan atau pertengkarannya dengan Laurin. Dan anehnya, dia suka hal bodoh itu.

"Ya ... kenapa lo kepo soal hubungan gue sama Elvan? Mau gue temenan kek, mau gue pacaran kek, mau gue saudaraan kek. Itu kan terserah gue," kata Laurin dengan mata memicing curiga.

"Gue kepo karena gue nggak suka lihat lo dekat sama Elvan. Gue cuma takut kalau entar elo malah nggak fokus jagain gue," timpal Rega mencari alasan.

"Tenang aja, Ga." Laurin menepuk pundak Rega dua kali. "Gue bakal profesional kok."

Laurin kembali berjalan setelah menunjukkan cengiran khasnya pada Rega. Ia menuju lift.

"Eh tunggu!" teriak Rega setelah terkesiap dan mendapati Laurin sudah memasuki lift.

"Eh mobil lo masih ada di depan lho," kata Laurin mengingatkan. "Entar kena derek baru tau rasa lo!"

"Bodo amat!"

Sebelum pintu lift menutup, delapan orang tiba-tiba memasuki lift dan membuat lift terasa penuh. Laurin reflek memunggungi Rega agar Rega tak terdesak oleh penumpang yang lain.

Rega meneguk ludah menahan napsunya. Nalurinya ingin melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Laurin seraya memeluk punggung Laurin erat-erat. Tapi dia masih waras untuk tidak melakukan hal bodoh itu.

Dia bahkan menahan napasnya dengan tangan meremas pegangan lift agar menjaga pikirannya tetap waras.

"Tenang. Tenang. Gue masih waras. Gue nggak mungkin peluk punggung si alien ini. Apalagi di depan umum," batin Rega menenangkan diri.

Ting

Pintu lift terbuka. Delapan orang tadi akhirnya keluar dan membuat Rega bisa bernapas lega. Ia cepat-cepat mendorong punggung Laurin menjauh saat pintu lift kembali tertutup.

"Eh kenapa lo malah jorokin gue?" Laurin menoleh kesal.

"Sempit!" sahut Rega beralasan.

"Ya nggak usah dijorokin gitu keles. Gue kan bisa pindah sendiri."

"Lo itu sejenis manusia yang nggak peka. Jadi gue jorokin aja biar cepat-cepat menjauh. Hus! Hus!"

Laurin mendesis kesal. Ia keluar dari lift saat pintu terbuka. Dan herannya, Rega masih betah mengikutinya dengan ribuan pertanyaan tentang hubungannya dengan Elvan.

K-U (Kelas Unggulan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang