Bona

1.3K 51 5
                                    

Setelah berbulan bulan bergelut dengan banyak pertimbangan, aku akhirnya memutuskan untuk menulis cerita ini. Novel ini menceritakan 50 % nya tentang kehidupanku sendiri.

Tentu saja sudah dengan modifikasi dan latar belakang yang berbeda, tapi intinya ini memang apa yang aku alami setahun terakhir ini.

Ada seseorang yang benar benar mengubah sudut pandang dan caraku berpikir. Proses pendewasaan darinya sangat berat dan menyakitkan, tapi aku tetap sangat bersyukur diizinkan mengenal dia.

Novel ini aku dedikasikan untuk dia, seseorang yang sangat di sayang, tapi bertemu diwaktu dan keadaan yang salah. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dan saling tersenyum, bercerita tanpa kata kata.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Setahun sudah aku mengenalmu. Setahun yang terasa lebih lama dari sebelumnya, terasa lebih berat, karena bertemu denganmu memaksaku harus menjadi lebih dewasa dan bijak.

Bg Arbi, aku masih rindu kamu. Padahal sudah berbulan bulan kita sepakat untuk tidak saling menghubungi lagi. Sudah berbulan bulan yang lalu ku beritahukan padamu, aku ikhlas melepasmu.

Mungkin saja kebohonganku bisa membodohimu, tapi hatiku tak bisa untuk di dustai. Sudah aku lepaskan, tapi belum cukup ikhlas.

Aku ingin membagi nama lelaki lain padamu, jika saja ada yang berhasil meluluhkan kebekuan hati ini. Setelah di porak porandakan sebuah kepergian, aku memang sudah seharusnya belajar pada perelaan.

Tapi perelaan tidak melulu membuatku lupa padamu, hatiku tidak melulu bisa dipaksakan untuk memikirkan lelaki lain. Aku tau ada yang salah dengan hatiku. Seharusnya aku sudah tidak mengingatmu lagi. Tapi kenyataannya, dihatiku seolah sudah tidak ada tempat untuk lelaki lain.

Selama hidupku, sebelumnya belum pernah ada yang bisa menyentuh hatiku. Hati itu menjadi ruang dingin yang beku, sulit disentuh, begitu keras dan tak ada yang bisa menghangatkannya.

Sampai pertemuan kita di hari yang biasa biasa saja itu, mampu mengubah duniaku. Mata hitam yang amat teduh dan dalam. Hidung mancung yang indah sekali. Bibirnya yang seksi dan membuat jantungku berdebar ketika  ada lengkung disana. Kulit bersih dan pakaian necis.

Ah, bg Arbi, lihatlah, mudah sekali bagiku untuk merindukanmu.

~~~~~~~~~~

Di suatu hari di bulan Juli 2018

“Ada yang meminta nomor ponselku, Na,” seru Raya anthusias pada Bona. Bukan kabar baru lagi.

Sebagai pekerja yang bertemu dengan banyak orang baru setiap harinya, itu bukanlah hal baru bagi mereka.

Mereka bekerja sebagai karyawan penjualan di sebuah butik mewah di salah satu mall besar dan ada cukup banyak orang kaya yang meminta nomor mereka untuk bisa diajak “party” atau sesuatu yang lebih intim lainnya.

“Trus?” Bona bertanya acuh.

“Cowoknya ganteng banget, sumpah. Dia bilang nanti sepulang kerja bakal jemput gue buat pulang bareng.” Raya terlalu mudah di goda menurut Bona.

Mereka berdua memang berteman, cukup dekat dibandingkan karyawan yang lainnya. Mungkin karena dulu mereka ada di satu tim sebelum Bona dipindahkan untuk menjadi kasir.

Bukan rahasia lagi jika Raya berpacaran dengan keponakan pemilik butik tempat mereka bekerja. Dan masalahnya lelaki yang dipacari Raya sudah beristri dan memilik seorang anak.

Ini sudah tahun keenam ia menjadi selingkuhan seseorang dan belum pernah ketahuan oleh istri si lelaki tersebut. Bona selalu heran bagaimana perselingkuhan selama 6 tahun tidak pernah tercium oleh seorang istri.

Dan Raya cukup bangga mengakui bahwa dia selingkuhan lelaki beristri, yang membuat Bona sebagai karyawan baru dulunya sempat stess, mual dan jijik ketulungan.

“Jadi lo mau keluar sama dia?” Bona memastikan. Anggukan Raya membuat Bona kecewa. Nasehat nasehatnya bagai angin lalu saja bagi Raya. Raya selalu bilang “iya, aku juga udah pengen berhenti kok”, tapi keesokan harinya ia ulangi lagi.

“Itu cowoknya Na, yang kaos putih, keren banget kan?”

Bona menatap ke arah yang dimaksud Raya. Ia mengangguk kecil, lalu menghentikan obrolan dengan Raya. Ia harus membuat laporan harian sebelum pergantian shif kerja, jadi ya sudahlah, percuma mulutnya berbusa, Raya tetap saja lebih suka dengan orang orang kaya walau yang datang hanya untuk memuaskan nafsunya.

Ketika masih sibuk dengan komputernya, Bona mendengar dua pelanggan yang sedikit cekcok berebut untuk bayar. Pandangannya terarah pada dua lelaki yang saling ngotot ingin membayarkan belanjaan.

"Abang aja Bi, udah dehh...” seru seorang yang lebih tua.

“Aku yang ngajak bg, udah biar aku aja. Dek, semuanya berapaan, abang yang bayar ya.” Lelaki berkaos putih itu mengambil langkah bijak dengan mengeluarkan kartu kreditnya.

Jadi dialah yang akan membayar belanjaan baju yang cukup banyak itu.

“Belanjaan abang banyak Bi, karena lusa ada pertemuan formal. Sementara kamu Cuma ngambil baju asal.”

Lelaki berkaos putih itu mengkode Bona untuk menggunakan kartu kreditnya. Bona mengangguk mengerti, lalu tersenyum setelah melihat bahwa lelaki itu hanya mengambil sepotong kaos sementara temannya membeli stelan jass.

Kedua lelaki itu mengobrol sejenak sebelum lelaki yang lebih tua berjalan kearah dinding untuk mengangkat telepon. Lelaki berkaos putih tersebut tetap di depan meja kasir, mengamati Bona yang melipat pakaian untuk dibungkus.

“Orang mana dek?” lelaki itu akhirnya bertanya juga.

“Orang Jakarta bg.” Bona sengaja menjawab rancu.

“Iya, tau dek. Tapi alamat rumahnya dimana?”

Bona tertawa, lalu menyebutkan alamatnya. Bertanya tentang alamat rumahnya juga sudah hal yang biasa, tapi kebanyakan dari semua pelanggan yang bertanya pasti akan mengajaknya bertemu diluar. Ia sudah kebal dengan lelaki semacam ini.

“Kayaknya abg pernah ke daerah itu deh.” Ucapan lelaki itu membuat Bona yang sibuk membungkus baju menoleh kearahnya dan kebetulan lelaki itu sudah sejak tadi menatapnya.

Jadilah mata hitam mereka saling beradu. Tatapan mata pertama mereka. Sebelum lelaki itu menarik pandangan matanya, ia meninggalkan senyum manis untuk Bona.

Bona mengembalikan kartu kredit dengan menyerahkan barang belanjaan lelaki tersebut.

“Terimakasih ya bg, silahkan datang kembali kesini.” Ujar Bona ramah sebagai kewajibannya dalam menjalankan tugas.

“Buat makan siang.” Lelaki itu meletakkan uang ratusan sebanyak tiga lembar ke mejanya Bona, lalu sekali lagi meninggalkan senyuman indahnya yang lekat terpatri di ingatan gadis itu.

Bona agak tertatih mengucapkan terimakasih, tapi tentu senang bukan kepalang karena ada banyak lembar skripsinya yang harus di print out dan keuangannya sedang sekarat.

“Cowok yang itu loh Na, ganteng kan?” Raya langsung menyambar Bona. Bona sejenak terkejut, ah ternyata lelaki itu. Ia kira pelanggan satu lagi yang mengenakan kaos putih, ternyata lelaki yang baru saja membuat hatinya senang.

“Sayang sekali, ternyata Raya yang ia incar,” desis Bona dalam hati.
Bona tau betul, ia tidak pernah mengingat ataupun peduli dengan senyuman siapapun.

Ini kali pertamanya bisa mengingat senyum seseorang. Ia bukannya tidak pernah berpacaran. Pernah beberapa kali. Dan tak ada yang pernah berhasil menyentuh hatinya dan membuatnya nyaman.

Ujung ujungnya berakhir dengan pertengkaran karena para pacarnya mengeluh dengan sikap cueknya yang keterlaluan.

Bona tidak pernah tau bagaimana cara peduli kepada seseorang.

Terkecuali sejak hari itu
''''''''''''''''''''''''''

290319

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang