Dua Arah

266 24 0
                                    

Bg Arbi, kamu tau salah satu alasan aku tidak bisa menyingkirkanmu dari ingatanku adalah karena kamu hal paling indah yang pernah hadir dalam hidupku.

Bersamamu, meski bukan bilangan tahun yang kita lewati, aku mengerti arti rumah yang sesungguhnya. Kepadamu, aku bisa pulang dengan keadaan apapun, dengan kondisi sekacau apapun, dan kamu tetap bersedia terus memperbaikiku.

Aku kira selamanya akan seperti itu, kamu akan selalu jadi tempat pulangku. Sebab kamu tidak pernah berkata jujur bahwa semua yang kamu berikan hanyalah sementara.

Denganmu, aku pernah merasa hidup sangat bermakna. Mengobrol apa saja denganmu bisa seru, pergi kemana saja denganmu jadi menyenangkan, dinasehati pun aku tetap bisa menerimamu, dan dinomor duakan oleh pekerjaanmu pun aku bisa mengerti.

Denganmu, cukup satu warna saja sudah membahagiakan. Yang terlambat aku pelajari hanyalah kehadiranmu benar benar hanya sementara.

'''''''''''''''''

“Bona? Kamu Bona kan?” Pak Muktar, pemilik butik tempat Bona bekerja berujar pada Bona yang sejak tadi sedang merenung.

Bona spontar berdiri tegak, merapikan penampilan dan gugup. Jarang sekali bosnya datang ke butik, biasanya mereka hanya di awasi oleh seorang manager.

“Iya, Pak, saya Bona.” Jawabnya dengan suara lantang.

“Kemasi barang barangmu, hari ini kamu tidak usah bekerja.”

“Saya dipecat Pak?” suara Bona semakin nyaring tidak percaya.

Gila, dia di pecat saat skripsinya baru mulai memasuki bab empat lima. Perjalanannya masih panjang dan butuh dana besar untuk itu.

“Maksud saya hari ini kamu boleh tidak bekerja, Pak Arbi ada urusan denganmu, jadi selesaikan saja dulu urusanmu itu,” jelas bosnya.

Orang pertama yang melotot setelah mendengar itu adalah Raya. Tentu saja ia kepo, karena ia sangat tertarik denga Arbi.

Bona tidak bertanya apa apa lagi, hanya menganti pakaian kerjanya lalu menemui Arbi yang sudah menunggunya di sofa.

Bona cukup gugup sebenarnya karena semua teman teman kerjanya pasti akan segera bergosip karena bos mereka terlibat langsung dalam kepulangannya.

Setelah agak jauh dari butik, Bona berhenti berjalan lalu melotot hebat pada Arbi. “Kenapa dipermisiin ke Pak Muktar, kan adek jadi segan,” omelnya.

“Abg kan pernah nanyak ke adek, mau permisiin adek ke managernya, adek bilang ngak usah karena managernya kepo, ya udah abg permisiin langsung ke bosnya deh.”

“Ih, bg Arbi, gak gitu juga. Kita bisa kan ngomongnya nanti malem aja kek, ini mah semua orang jadi tau. Besok mah adek bakal dikepoin sama semua orang.”

“Ya ampun, muka merengut ini,”Arbi mencubit pipi Bona. “kalo ngomong nanti malem adek bakal bohong lagi ada shif malam. Udah yuk, cari makan dulu, adek pengen makan apa?”

Arbi meraih jemari Bona dan menuntunnya lembut untuk kembali berjalan.

“Adek mau makan sushi, shabu shabu, takemui dan semua makanan jepang lainnya.” Ucap Bona sengaja, ia ingin melihat respon Arbi jika ia meminta makanan mewah.

Ia ingin bukan hanya Raya yang diajak ke restoran mewah, ia juga mau. Bona memang sengaja mensearching makanan mahal yang seumur umur belum pernah ia makan.

Arbi sejenak menatap heran Bona, ia tau gadis itu bukan tipe pemilih makanan. Tapi demi bisa bicara, Arbi menuruti saja permintaan Bona. Ia membawa Bona keparkiran, lalu keluar dari gedung mall tersebut.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang