Because I Love You

354 25 0
                                    

Bona tak bisa menghubungi Arbi sudah empat hari ini. Bona tau alasannya, karena Arbi tak ingin Bona terus mengeluhkan keputusan yang telah ia ambil.

Bona memang takkan tau jika Arbi masih terus melanjutkan kasus persidangannya jika bukan Luna yang datang bercucuran air mata menceritakan kegagalannya menjatuhkan hati Arbi.

Bona mengamati gedung KPK, di teras dan halamannya masih saja banyak wartawan yang mondar mandir untuk mengetahui perkembangan kasus OTT yang di lakukan KPK terhadap dinas kehutanan.

Gedung ini memang tak pernah sepi.

Ia berjalan masuk menuju meja resepsionist, melihat dua wanita cantik sedang stand by disana. Belum juga ia mengucapkan kalimat apapun, kedua wanita tersebut sudah menatapnya sinis.

"Tolong ya kalau urusan pribadi jangan cari Pak Arbi kesini, ini gedung KPK. Nanti nama dan karirnya rusak hanya karena hal sepele seperti kamu ini," ujar salah seorang.

Bona mengerti arah perkataan mereka, karena Arbi pernah memeluknya di depan umum.

"Jadi kapan saya bisa menemui bang Arbi?" tanya Bona mengalah.

"Mana kita tau, Pak Arbi itu orang sibuk. Jika pun dia punya waktu, lebih baik dia luangkan untuk mengobrol dengan kita. Ngomong ngomong bukan kamu kan yang menyebabkan perceraian rumah tangga Pak Arbi?" ujar salah seorang menyolot.

Tangan Bona langsung dingin mendengar tuduhan tersebut. Rasa bersalah sudah tidak lagi bisa ia sembunyikan dari pancaran matanya. Pun meski berkali kali Arbi bilang Bona tak ada hubungannya dengan perceraiannya ini, Bona tak bisa menghindari rasa bersalah.

Andai saja mereka tak usah pernah bertemu, itu terus yang ia sesali.

"Kamu siapanya Pak Arbi sih? Istrinya Pak Arbi aja kita belum kenal sampai sekarang siapa," seorang resepsionist yang lain mengageti Bona.

Bona tak menjawab, dan lebih memilih untuk pergi. Tapi baru beberapa langkah, ia sudah mendapati Arbi di kejauhan berjalan mendekati meja resepsionist.

Langkah Arbi panjang panjang, matanya tertuju penuh pada tab di tangannya, seolah kakinya sudah hapal setiap ubin di gedung ini.

Bona segera menyembunyikan wajahnya ke balik tembok, karena rasanya egois jika ia masih meminta waktu Arbi yang amat sempit.

"Ta, sarapan saya udah sampe belum kesini?" tanya Arbi, tangannya masih menscroll layar tab.

"Ini pak," resepsionist tersebut mengeluarkan omlet dan secangkir kopi.

"Sekretaris saya udah ninggalin schedule harian saya belum disini?"

Arbi meletakkan tab di tangannya, lalu menyendoki omlete di meja resepsionist masih dengan posisi berdiri. Menyesapi kopi instannya lalu sesekali matanya balik terarah pada tab.

"Udah pak. Bu Rani menitipkan pada kami untuk mengingatkan pada Bapak makan siang nanti ada wawancara dari majalah Most."

"Oh ya ampun, ini akan jadi wawancara paling menyebalkan buat saya," ujar Arbi sambil menelan semua sisa omeletnya.

"Wartawan jaman sekarang canggih sekali, kasus perceraian aparatur negara saja mereka sampai tau. Padahal apa pentingnya coba buat mereka?"

Kedua resepsionist tadi tersenyum karena Arbi akhirnya banyak bicara dengan mereka. Arbi terlalu sibuk bekerja jadi tidak punya banyak waktu untuk ngopi atau nongkrong bersama dengan mereka selepas jam kerja. Ditambah ia juga menghabiskan cukup banyak waktu untuk Bona.

"Pak!" Panggil salah seorang, dengan wajah memerah karena bahagia. "Bapak tau kan, kami berdua masih lajang?"

Arbi mengangguk. Banyak sekali yang belum nenikah di KPK karena usia yang masih muda dan juga karena terlalu sibuk bekerja.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang