Kesan Kencan Pertama

632 34 1
                                    

Itu pertama kalinya kamu menghubungiku bg. Aku tidak pernah segugup itu menerima telepon dari siapapun. Telepon dari seorang lelaki sama sekali tidak penting bagiku, kecuali darimu.

Aku suka semua obrolan kita selama setengah jam itu, aku suka menyadari kamu meneleponku di tengah tengah kesibukanmu yang masih bekerja. Aku ingat setiap katamu pada malam itu, meskipun setahun telah berlalu.

Pertemuan kita keesokan malamnya jauh lebih mendebarkan lagi. Dan aku suka setiap sentuhan lembutmu di tangan dan jemariku. Aku suka caramu begitu dewasa memperlakukanku.

Kamu yang aku cari, lelaki yang bisa dijadikan tempat sandaran. Boleh aku berandai andai, sekali lagi untuk kita mengulangi semua yang terjadi malam itu.
.
.
.

'''''''''''''''''''''''''''

Ponsel Bona berdering sekitar pukul delapan malam. Telepon dari line dengan akun Bulandanbintang. Bona sudah tau siapa yang meneleponnya karena seharian Raya terus mengoceh tentang pemilik akun tersebut.

“Iya, halo,” ujar Bona.

“Halo, Bona ya?”

“Iya, kenapa ya bg?”

“Emang tau ini siapa?”

“Taulah, kan Raya ceritain soal abg seharian ini. Ada perlu ya bg?”

“Emang harus ada perlu dulu baru boleh hubungi adek?”

“Ngak sih, ya mana tau ada perlu apa gitu. Atau jangan jangan abg mau minta di comblangin ya sama Raya? Mau minta bantuan adek buat jadi mak comblang?” Seloroh Bona.

“Comblangin aja dek, comblangin. Yang ngecomblangin nanti yang bakal jadi sama abg. Kalo gak percaya, buktiin aja ntar.”

Sluurr. Seperti ada air dingin yang menyiram tubuh Bona di malam yang sudah dingin ini. Kenapa sih dia harus di beri harapan seperti ini lagi, padahal lelaki itu sudah mendekati temannya.

“Apaan sih bg....”

“Dek, abg sebenernya tertariknya sama adek, bukan Raya. Tapi adek tuh cuek banget, udah dari pertama masuk ke butik abg tengokin adek mulu, tapi adek pendiem banget. Ya udah abg jadi minta nomornya Raya biar bisa hubungi adek.”

Lelaki itu menjelaskan sesingkat mungkin, yang saat itu juga mengacaukan detak jantung Bona.

“Kan abg sama Raya?”

“Abg suka sama adek. Adek tau ngak, kalo abg baru habis jalan sama Raya? Besok coba tanya sama dia seberapa sering abg tanyain soal adek ke dia. Besok kita ketemu ya, pulang kerjanya jam berapa besok?”

“Abg jemput aku di tempat kerja, trus Raya ntar gimana?”

“Ya udah, kalo gitu abg jemput ke rumah adek ya selepas magrib.”

“Aduh, tapi adek ngak janji ya...”

“Besok habis magrib abg jemput, kasih tau aja alamat lengkapnya dimana biar abg ke rumah adek aja.”

Untuk setengah jam kedepan obrolan Bona dan lelaki yang mengaku bernama Arbi itu terasa menghangat. Ada banyak hal yang membuat mereka tertawa bersama malam itu dan semua obrolan bisa jadi seru.

Sudah lama Bona tak mengobrol semenyenangkan ini. Dulu setiap kali ia mengangkat telepon dari lelaki, ia akan segera memutar otak untuk menemukan cara mengakhiri pembicaraan.

Tapi malam itu, Bona kecewa ketika lelaki itu menyuruhnya untuk tidur dan istirahat. Itu suara paling keren menurutnya. Suara berjenis bariton yang seksi. Suara yang akan ia rindukan dalam waktu yang panjang.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang