Surat Terakhir Untuk Negeri Dongeng

293 23 0
                                    

Reki baru saja selesai menghubungi ibu kos Bona untuk memberitahukan bahwa Bona menginap di luar malam ini. Ibu kos sempat shock, karena ia kira Bona bersama Arbi bukan lelaki yang ia tak kenal.

“Adek serius mau bermalam disini?” tanya Reki pada Bona yang masih sibuk mengunyah citato di mulutnya. Bona mengangguk, terlihat sama sekali tidak keberatan.

“Ini ngak kayak Bona yang biasanya loh,” ujarnya lagi.

“Anggap saja karena aku senja, senja yang sedang tersesat bersama abg.”

Reki tertawa mendengarnya, gombalan yang tak masuk akal. “Jadi kamu akhirnya mengaku juga mirip dengan senja?”

“Untuk hal semenakjubkan langit saja pun, ia masih tak berhasil untuk membuat senja menjadi miliknya yang utuh. Senja bukan milik siapa siapa."

"Jika mungkin di masa depan kita tidak akan mungkin bersama selamanya, setidaknya ayok bersama sampai fajar nanti. Hanya agar kita punya kenangan saja. Hanya untuk menandakan aku pernah ada di hidup bg Reki, ya?”

Bona coba menjelaskan, setengah hatinya hilang entah kemana saat kalimat itu keluar dari kerongkongannya.

Di lubuk hati paling kecilnya, Bona tau ia sedang merusak dirinya sendiri. Ia sedang melukai dirinya sendiri, dengan berharap jika ia terluka maka akan ada orang lain yang ikut terluka.

Jika ia merusak dirinya sendiri maka Arbi akan ikut merasa bersalah.

Bona sedang menghukum Arbi dengan merusak dirinya sendiri. Bona pikir hanya ia yang rusak, ia lupa tindakannya yang meminta Reki ada disisinya juga akan melukai istri dan anak Reki.

Bahwa setiap satu tindakan, untuk sekecil apapun itu, pasti akan selalu memiliki benang merah dengan hal lainnya.

“Kamu terlihat aneh jika bersikap begini Bona, kau tahu, kamu seperti orang yang sedang patah hati,” ujar Reki. Mata Bona tak cukup berhasil menyembunyikan sendu yang ada disana.

“Aku baik baik saja kok. Kita jalan jalan ke dekat mercusuar yuk, belum pernah kesana soalnya,” Bona mengalihkan pembicaraan.

Reki menggenggam tangan Bona lembut, juga menatap mata gadis itu dengan lembut. Jika saja Reki bukan lelaki yang memiliki istri, suasana hati Bona mungkin bisa sedikit berbeda.

Mungkin ia bisa belajar menerima lelaki lain di hidupnya, bukan justru menduga duga bahwa semua lelaki itu brengsek.

You okay, Bona?” tanya Reki sekali lagi.

Bona mengangguk. Ia mungkin tak baik baik saja, tapi ia ingin tak ada yang tau soal itu. Cukup ia saja yang tau apa yang terjadi sebenarnya.

Ia lelah berusaha percaya kepada seseorang, lalu nanti kepercayaan itu yang akan menyakiti dirinya sendiri.
Sambil terus bergandengan tangan, Reki dan Bona berjalan di sekitar mercusuar.

Membahas satu dua tentang pekerjaan mereka, apa yang mereka inginkan, atau bagaimana cara Reki menjalani rumah tangganya. Reki terbuka bahkan soal rumah tangganya.

“Jadi, setelah menghabiskan waktu bersamaku, apa abg tidak merasa bersalah sama istri abg?” tanya Bona, lagi, pertanyaan itu terulang kembali.

Setelah menghubungi ibu kos Bona, Reki juga menghubungi istrinya, mengatakan ada tugas mendadak ke luar kota. Bukankah harusnya terselip perasaan bersalah di hatinya?

Reki tertawa, sedikit di paksakan. Ia memandangi sejenak genggaman tangan mereka.

“Ini pertanyaan paling sulit yang pernah kamu tanyakan. Entah harus jawaban apa yang abg berikan padamu Bona.”

“Tidak usah jawab, aku sudah tau.”

“Bona, kau tau, jika saja abg bertemu denganmu sebelum abg menikah, abg tidak akan pernah ragu untuk mempersuntingmu. Abg benar benar ingin menjadikanmu seorang istri Bona, tapi pertemuan kita selamanya tidak akan pernah tepat lagi.”

Bona bungkam sejenak, pikirannya teralih kepada Arbi. Apakah itu juga yang dirasakan Arbi? Pernahkah lelaki itu ingin menjadikannya seorang istri? Meskipun hanya sebatas angan angan.

"Tuhan, kenapa Kau libatkan aku dengan dua lelaki yang keduanya sudah menikah? Tak bolehkah aku menjalani kehidupan percintaan biasa, bukan cinta terlarang seperti ini," keluh Bona di dalam hatinya.

Sesampainya mereka kembali ke pinggir laut, Reki memeluk tubuh Bona dari belakang. Untuk membuat gadis itu tak kedinginan diterpa angin kencang. Untuk bisa menghirup aroma tubuh gadis itu dalam dalam.

Tanpa ia tau hati Bona semakin membeku dengan dekapannya.
Bulan dan bintang terlihat indah di langit malam yang bersih.

Ingatan tentang Arbi berulang kali, berkali kali dan tak kapok kembali kepada Bona. Dimana saja dan bahkan untuk hal yang sama sekali tak bersangkutan dengan Arbi pun, ingatan bisa bisa kembali sewaktu waktu.

Ingatan yang benar benar menyiksanya. Dan kini sudah setengah merusaknya.

Bg Arbi, tidakkah abg pernah membayangkan dampak dari perbuatanmu terhadapku? Harapan harapan yang abg biarkan tumbuh, atau cinta yang abg semai, kebutuhan dan ketergantunganku padamu.

Tidakkah pernah abg pikirkan betapa rusaknya adek setelah tau bahwa abg sudah menikah. Tidakkah ada terbesit di benakmu bahwa mungkin abg sudah merusak seorang gadis.

Merusak hatinya. Yang semakin hari semakin membelenggu. Dan hati yang abg rusak itu, tak bisa abg pertanggung jawabi sebab ada hati lain yang harus di jaga.

Hati yang aku kalah olehnya.

''''''''''

Ini akan menjadi surat terakhirku untukmu, bukan karena rasa sayang telah memudar atau karena aku tak sanggup lagi menunggu.

Surat ini yang entah kapan baru akan sampai ke tanganmu, akan menjadi pertanda kisah  kita yang sudah usai.

Usai karena aku sudah menerima bahwa jalan panjang yang akan ku tempuh takkan pernah ada kamu lagi disana.

Kehilanganmu benar benar pedih rasanya. Sebab berbulan bulan yang lalu, aku pernah jatuh sangat dalam ke pelukanmu. Juga pernah menaruh banyak mimpi di pundakmu.

Lalu sekarang semua harap dan perasaan sayang berlebihan harus terhempas dengan perpisahan tanpa ada kata selamat tinggal di dalamnya.

Menjalani hari hari tanpa ada suaramu, aromamu, tanpa kehadiranmu lagi  akan menjadi proses pendewasaan yang sulit bagku.

Singkat memang cerita kita, tapi kamu yang paling indah yang pernah ada. Terimakasih banyak karena telah mengubah caraku memandang dunia.

Terimakasih karena membuatku mengerti bagaimana rasanya mencintai dengan tulus. Aku masih belajar sampai sekarang untuk menjadi lebih baik lagi, juga masih belajar untuk ikhlas menerima perpisahan ini.

Andai semesta mengijinkan kita untuk bertemu sekali terakhir. Aku ingin menatap manik matamu dan mengucapkan terimakasih. Juga memberitahukan padamu aku menyayangimu untuk waktu yang sangat lama.

Aku pergi karena benar benar menyayangimu. Aku pergi karena ada dua malaikat kecil yang harus kamu rawat hatinya dan aku tak ingin lagi mencuri waktumu yang harusnya untuk mereka.

Aku pergi karena tidak ingin merusak sesuatu yang sudah pada tempatnya.

Terimakasih cinta, aku pergi.
Jika suatu saat aku bisa bertemu denganmu lagi, setidaknya berikan aku senyuman walau tak ada lagi cinta disana.

Jika ada kehidupan selanjutnya, semoga aku terbuat dari tulang rusukmu.

''''''''''''

Itu benar benar isi surat yang aku tulis untuk cowok yang menginspirasi adanya tokoh Arbi di cerita ini. Jadi sebenernya aku nulis surat buat dia itu dua kali, ini surat yang terakhir.

Aku menulis cerita tentang dia sebagai satu satunya jalan yang aku temukan untuk mengabadikan dia dalam hidupku. Aku hanya ingin mengenangnya, karena tidak bisa dimiliki.

Secara garis besarnya, cerita di novel ini menjelaskan apa yang terjadi antara aku dan dia. Secara garis besarnya aja ya guys.

190419

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang