Angin semilir menembus celah celah kaca mobil yang sengaja di turunkan Bona karena ia bosan dengan penyejuk AC mobil. Ia dan Arbi sedang dalam perjalan menuju Jogja, untuk menemui anak anak Arbi.
Arbi sudah memberitahu Luna bahwa ia ingin bertemu dengan anak anak, tapi tidak memberitahukan ia datang bersama Bona.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran yang sanggup merusak suasana hati mereka. Terutama Bona, yang bahkan sebelum memulai perjalanan pun sudah sangat gelisah.
"Jika anak anak tidak menyukai adek, bagaimana?" Bona tidak lagi tahan menyimpan semua duga duganya.
Arbi menoleh padanya, lalu kembali menatap jalanan. "Coba aja dulu dek," jawabnya ala kadar.
"Pernikahan ngak akan pernah ada di antara kita!" Tegas Bona, meski seluruh tubuhnya gemetaran. "Kalo Attaya dan Bintang ngak bisa nerima adek, kita ngak akan nikah. Atau pernikahan bisa di tunda sampai mereka bisa menerima adek."
"Dek, kamu tuh terlalu banyak di hunus oleh pikiranmu sendiri. Udah berapa kali kita bicarain ini, jangan ngambil keputusan apapun kalo emosinya ngak stabil."
"Kalaupun bang Arbi pilih adek daripada anak anak, kita tetap ngak akan pernah nikah selagi belum dapat restu dari mereka. Mereka harus tetap nomor satu buat bang Arbi apapun yang terjadi," Bona masih saja belum bisa berhenti bicara.
"Karena adek tau betul bagaimana pedihnya menghadapi keluarga yang tidak utuh. Aku tidak ingin apa yang menderaku, kembali mendera anak anakmu bang Arbi," sambungnya dalam hati.
----------
Bona menunggu Arbi menjemput anak anak di taman bermain. Tidak mungkin juga ia ikut ke rumah Luna. Itu hanya akan menyakiti Luna saja.
Arbi mengetuk pintu rumah, meski sebenarnya ia punya kunci untuk membukanya. Ada banyak harta gono gini yang ia serahkan untuk Luna. Asal itu bisa menyokong kehidupan Luna, maka tak apa baginya.
"Papaaa...." Attaya dan Bintang segera berlarian memeluk kaki Arbi sesaat setelah Luna membuka pintu.
"Kita jadi pigi main kan pah?" Tanya Attaya, yang segera diciumi dan di gendong Arbi.
"Jadi donk sayang, papa dua hari disini, jadi kita bakal keliling ya," ujar Arbi kembali mencium Attaya. Rambut gelombang gadisnya itu terlihat lebih panjang sekarang.
"Gimana sekolahnya, jagoan papa?" Tanya Arbi mengacak acak rambut Bintang.
"Kayak biasa aja pah."
"Trus, taekwondonya gimana?"
"Masih ada babak penyisihan biar bisa jadi perwakilan sekolah buat tanding. Nanti kalo Bintang ada pertandingan utusan dari sekolah, papa bisa datang?" Bintang benar benar bersikap seperti orang dewasa. Sesekali ia masih merengek tapi tidak banyak.
"Pasti donk. Kan papa udah janji akan menomorsatukan kalian."
Selepas berinteraksi dari anak anak, tatapan Arbi tertuju pada Luna, yang entah kenapa tampak gugup. Melihatnya sekilas saja Arbi langsung tau Luna berdandan.
"Hai, gimana kabar kamu?" Tanya Arbi, yang ia juga jadi merasa canggung.
"Hmm, begitulah. Have fun ya sama anak anak. Oh iya, mampir dulu yuk, aku lagi masak cemilan."
Sebenarnya Arbi enggan, tapi juga tidak enak hati menolak tawaran Luna. Jadi meski kepikiran Bona yang sudah menunggunya di taman bermain, ia harus tetap mencoba masakan Luna.
Bola bola keju, dorayaki oreo dan bronis lumer adalah cemilan kesukaan anak anak, seperti biasa masakan Luna lezat. Ia jarang makan masakan Luna karena sudah bertahun tahun mereka LDR.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
Любовные романыHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...