Hari saat Arbi mengajak Bona ke tempat biasa Arbi menenangkan diri adalah hari Selasa tanggal 14 bulan Agustus.
Arbi tidak terlalu suka mengajak Bona keluar ketika malam kamis apalagi malam minggu. Kata Arbi ada banyak pasangan pada malam itu, dan ia tidak terlalu suka keramaian.
"Jadi ini tempat apa?” tanya Bona lagi, karena belum menemukan tempat menarik sepanjang perjalanan mereka.
“Adek tuh ya, gak bisa dibuat penasaran, pasti jadi cerewet gini. Tapi, ya udah deh, sebagai gantinya, mau abg gendongin?”
Alis Bona berkerut. Lelaki yang ia kenal sebulan kemarin menawarkan punggungnya untuk dinaiki Bona?
Bersama Arbi, rasanya benar benar seperti punya abg sedarah. Bona punya abg kandung. Satu satunya saudara sedarah yang ia punya justru sangat jauh dari perilaku Arbi. Abgnya kejam dan jahat. Ya jahat, sampai tega membiarkannya seperti si batang kara.
“Ayok naik dek, jalannya tinggal lurus doank kok, adek biar abg gendong aja.” Seru Arbi.
“Oke, tapi adek berat loh ya,” bodoh amat bagi Bona soal berat badannya, ia segera naik ke punggung Arbi. Ia di gendong belakang.
Baginya kapan lagi ada lelaki yang menggendong belakangnya. Dulu sewaktu kecil ia pasti sering di gendong ayahnya, dan kini akhirnya ada Arbi yang menggantikannya.
“Terimakasih,” Bona terharu untuk semua sikap berbeda Arbi dari semua lelaki yang pernah ia kenal. Lelaki lain lebih suka pamer mobil mewahnya agar Bona mau dipegang pegang, tapi Arbi unik sendiri.
Punggung Arbi yang lebar dan tinggi langsung bisa menenangkan bona. Nyaman sekali. Ia yakin Arbi pasti mampu untuk ia jadikan tempat sandaran dari beratnya hidup yang ia jalani.
Jika pemikiran Arbi sedewasa ini, mungkin akan bisa mengubah sudut pandang Bona tentang keadilan Tuhan.
Bona sengaja tak banyak bicara ketika berada di punggung Arbi untuk bisa menikmati moment mereka. Moment yang mungkin takkan sering terulang. Ia hanya mengeratkan pelukannya di leher Arbi agar bisa mencium aroma yang mengoar dari leher tersebut.
Aroma tubuh yang lembut sekali, yang jika tidak dari jarak dekat takkan tercium aromanya.
Sekitar seratus meter dan mereka benar benar ada di tepi danau, Arbi baru menurunkan Bona. Bona langsung heboh sendiri kegirangan, segera mencelupkan tangannya ke dalam air.“Di tempat kayak gini ada danau juga? Wah, seru ya.” Bona membiarkan tangannya terendam air.
Tak sampai disitu, ia juga bergegas membuka sepatunya, lalu menjelupan kakinya ke air. Arbi membiarkan Bona sibuk dengan air, lalu ia pergi mengambil gitar yang ia sembunyikan di balik pohon.
“Sesuka itu sama air?” seru Arbi dengan gitar di tangannya.
“Suka banget bg tapi abg percaya gak, aku ngak bisa renang loh, hahha. Aku tuh-“ obrolan Bona terhenti setelah melihat ada gitar di pangkuan Arbi. “Gitar?” tanyanya.
“Jangan ledekin abg kalo nada gitarnya gak nyambung sama suara abg. Jadi mau dinyanyiin lagu apa?”
Arbi juga segera menggulung celananya ke atas dan mencelupkan kaki ke danau. Pertamanya memang dingin sekali, tapi lama lama jadi seru.
“Jadi abg punya sisi romantis juga ya? Tapi aku request lagu apa ya, aku ngak pernah ngebayangin bakal dinyayiin lagu sama seseorang.”
“Ya udah dipikir aja dulu, tapi abg punya lagu buat adek,” Arbi mulai memetik gitarnya, sedikit pemanasan sebelum akhirnya ia mulai.
Mata Bona langsung membelalak mendengar nada gitar dan setelah Arbi menyanyi, Bona ngakak.
Bukan karena suara fals, suara Arbi bagus apalagi ia bernyanyi dengan jenis suara bariton yang ia miliki. Tapi lagu yang Arbi nyanyikan. Tau kan lagu milik Hesti berjudul Klepek klepek?
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomanceHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...