Raya dan Bona duduk berjauhan. Sudah seperempat jam mereka berdua diam diaman.
Bona bingung harus mulai menjelaskan dari mana tentang hubungannya dengan Arbi. Ia tau ia bersalah dengan menyembunyikan hubungan mereka selama ini padahal ia juga tau Raya naksir berat pada Arbi.
“Udah berapa lama?” tanya Raya akhirnya.
“Kami pacaran sekitar seminggu setelah pertemuan pertama dengan dia, bulan Agustus tahun kemarin.”
Raya yang tadinya membelakangi Bona, mendadak melotot menatap Bona.“Kalian pacaran secepat itu? Trus gue jalan sama bg Arbi juga sebenarnya dia udah jadi pacar lo? Dan soal istrinya? Lo juga akhirnya jadi selingkuhan dia?” suara Raya agak histeris.
“Na, gue ngak mau pertemanan kita rusak karena sama sama suka ke bg Arbi, yang nyatanya juga sudah memiliki istri. Gue ngak tau harus jelasin dari mana, tapi hubungan kami udah lama berakhir, semenjak gue tau dia udah nikah."
"Gue harap bukan cuma gue yang berhenti gangguin rumah tangga orang lain Ya, tapi lo juga. Percuma gue nasehati lo panjang lebar, gue cuma bisa berdoa supaya hati lo bisa terbuka. Pertemanan kita cuma bisa gue aduin sama Tuhan Ya. Dan selamanya lo tetep bakal jadi teman gue.”
Setelah berujar seperti itu Bona berjalan meninggalakan Raya, tapi Raya segera mengejarnya.
“Gue marah, tapi ngak pake banget Na. Gue cuma butuh penjelasan. Lo kenapa sih, kayak orang yang paling menderita aja.”
Bona tersenyum, tulus.
Dipandanginya wajah Raya lamat lamat. Di ingatnya lagi ucapan Raya di kantor polisi kemarin, bahwa bagi seorang pelakor saja pun, ia masih punya alasan kenapa mau ada di posisi itu.
Make up mahal, pakaian, tas dan sepatu branded, gaya hidup hura hura membuat banyak gadis menggandaikan perasaan dan nuraninya.
Untuk gaya dan sikap pamer, hidup benar benar mahal. Karena itulah Bona ingin menyederhanakan hidupnya, belajar mensyukuri dari hal hal sekecil apapun, agar ia tidak selalu memikirkan uang untuk memenuhi segala keinginannya.
Bona mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tasnya. “Surat pengunduran diri,” jelasnya.
“Whatt? Gue ngak nyuruh lo berhenti Na.”
Bona menggeleng, lalu menggenggam lembut tangan Raya.
“Gue berhenti atas dasar kemauan gue sendiri Ya. Gue ngak mau selamanya jalani apa yang ngak gue suka. Gue mau coba banyak hal baru, dan ngelakuin apa yang gue pengen."
"Juga sebagai cara biar gue ngak terhubung lagi sama bg Arbi dan bg Reki. Lo boleh tetap kerja disini atau ikut gue biar lo gak terus berhubungan dengan bg Elwin.”
Bona menunggu sampai sepuluh menit, tapi Raya tetap membeku memandangi surat pengunduran diri tersebut. Bona kembali tersenyum, dan menggenggam tangan Raya.
“Gue cuma lo tau Ya, kalo lo bisa nyari gue kapan pun lo butuh, selalu. Dan gue akan selalu ada. Titip suratnya ya, pak manager lagi ke luar kota, gue udah telepon dia tadi.”
Sejenak Bona memeluk Raya yang masih saja membeku, lalu dia beranjak pergi. Bona melangkah dengan berusaha terus tersenyum, tapi air matanya merembes juga.
Air mata karena ia tak mampu membawa temannya keluar dari lingkaran hitam. Air mata karena nyatanya Raya akan kembali lagi pada Elwin, meski mereka sudah pernah kepergok dan berbuntut panjang di kantor polisi.
''''''''''''''''''Bona menatap gedung SMA Cendana dengan mata melotot sempurna. SMA elit, pikirnya. Dan Arbi ingin ia mengajar disini.
Mungkin akan sedikit menyulitkannya, karena ia dari kampus swasta yang biasa saja dan ia sudah lama tidak membuka buku biologi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomansaHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...