Selesai

330 32 3
                                        

Paginya selepas sarapan di restoran dekat pantai, Bona dan Reki kembali melakukan perjalanan untuk pulang ke Jakarta.

Sudah cukup banyak yang bisa di ingat Bona mengenai lelaki yang sedang menyetir di sampingnya ini. Sehari semalam mereka bersama, ia cukup mengerti sejauh mana Reki dapat menahan diri, atau bagaimana perlakuannya terhadap istri dan anaknya, karena ia masih tetap menelepon mereka dua kali lagi sampai pagi ini.

"Nama anak abg Ashila, udah kelas enam SD sekarang, dia cukup ayahan jadi harus di telepon kalo ngak lihat ayahnya saat mau berangkat sekolah," jelas Reki karena ia menghubungi istrinya di samping Bona.

Bona mengangguk. Ia takkan protes, mengeluh, apalagi cemburu. Selain karena ia tau bagaimana posisinya yang sebenarnya, ia juga tak pernah benar benar memberikan hatinya pada Reki.

Baginya, ini tak lebih dari hubungan fisik berbalas uang. Meski kadang ia merinding ketika Reki menatapnya dalam dalam.

"Bona ngak mau nelpon ibu kosnya? Atau mamanya mungkin?" Reki tau Bona anak yatim, dari unggahan statusnya di medsos.

"Gak usah deh, ini kan juga udah jalan."

"Mamanya?" Reki menoleh kepada Bona sejenak, sebelum kembali menatap jalanan.

Bona tersenyum kecut. "Mama masih sulit dihubungi bg, jadi biarkan saja."

Tangan Reki mendarat di punggung tangan Bona, mengusap usapnya perlahan.

"Na, abg ingat udah pernah ngasih tau ini sebelumnya ke kamu, tapi abg pengen ngingatin lagi. Kalo kamu lagi ada masalah, apapun itu, ngak papa kalo mau cerita ke abg. Abg bakal bantu sebisanya, pun kalo ngak bisa bantu, setidaknya kamu ngak pendam semua masalahnya sendirian." Suara Reki terdengar serius.

Bona sekali lagi mengangguk, hanya sekedar gerakan tubuh, karena hatinya baru saja mengeluh.

"Bagaimana bisa aku menjadikanmu sebagai sandaran, bg Reki. Jika hatiku sudah tertawan oleh lelaki lain. Ada lelaki lain yang aku ingin ada di sisiku, dan itu bukan kamu." Sesak Bona di dalam hati.

Menjelang pukul sebelas siang, mereka sampai di depan kosan Bona. Bona masih memeriksa isi tas selempangnya apa masih ada yang tinggal saat Reki memasukkan segopok uang ke dalam tas tersebut.

Gerakan Bona terhenti, ia cukup kaget dengan uang sebanyak itu dimasukkan Reki kedalam tasnya, tapi ia juga tak ingin protes.

Ia mengerti ini imbalan untuk waktu yang ia berikan kepada Reki. Untuk satu malam yang mereka habiskan bersama, walau Reki cukup bisa menahan diri hanya untuk menyentuhnya sebatas bibir dan terlelap dengan memeluk tubuhnya.

Bona tak bisa tidur lelap sepanjang malam itu, ia mewanti waniti jika Reki berbuat sesuatu padanya, tapi lelaki itu cukup konsisten dengan ucapannya.

"Terimakasih," ujar Bona kembali mengkancing tasnya.

"Bona masih libur kan hari ini, kalo gitu istirahat aja dulu biar besok kerjanya fresh lagi." Reki mengecup kening Bona beberapa detik sebagai salam perpisahan mereka.

Bona meninggalkan senyum selepas ia turun dari mobil Reki. Perasaannya bergelut dan lebih buruk lagi setelah tindakannya yang menerima uang pemberian Reki.

Tapi mau di tolak juga untuk apa, toh dia memang membutuhkan uang itu.

Saat berjalan masuk ke kos, Bona dikejutkan dengan seseorang yang berdiri disana, memandangnya tajam dan penuh kemarahan. Entah sejak kapan Arbi ada di teras kosnya, dan di balik pintu menyembul empat kepala yang mengintip akan terjadi apa antara ia dan Arbi.

"Bg Arbi kenapa ada disini?" tanyanya yang sedapat mungkin untuk bersikap biasa saja.

Bona menyembunyikan tangannya yang mendadak gemetar ke balik punggung, ia tau Arbi sudah marah padanya.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang