"Karena menikah bukan hanya jatuh cinta bg Arbi, tapi juga bangun cinta. Bg Arbi mungkin tidak beruntung bisa menikahi wanita yang abg anggap sebagai cinta sejati."
"Tapi bg Arbi bisa mendapat keberuntungan dengan menjadikan wanita yang telah abg nikahi sebagai cinta sejati abg. Abg mau kan? Abg harus belajar pelan pelan ya untuk bisa mencintai mbak Luna. Pelan pelan saja, asalkan abg mau menjalani prosesnya."
Bujuk Bona ketika pandangan mata mereka bertemu, selepas Arbi menyesap bibirnya. Selepas kedua bulir air matanya tumpah ruah.
“Sulit sekali untuk mencintai Luna, dek, ngak ada cinta yang bisa di paksain.”
“Setidaknya mulailah lihat semua bakti yang telah dia lakuin selama pernikahan kalian,” kedua tangan Bona memegang wajah Arbi.
“Untuk tetap setia pada pernikahan kalian selama 8 tahun, menahan rindu setiap hari karena harus melewati pernikahan dalam jarak jauh. Tetap bersabar meski bg Arbi pulang kerumah hanya sebulan sekali, padahal ia juga seorang wanita yang butuh perhatian dan tempat bersandar.”
“Lihatlah Attaya dan Bintang. Mbak Luna bertarung nyawa untuk menghadirkan mereka ke dalam hidup bg Arbi. Merawat dan mendidik mereka untuk menjadi anak yang baik, sendirian, karena bg Arbi lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja."
"Anak anak yang aku atau wanita lain pun takkan bisa hadirkan meski bg Arbi ingin. Bukankah Attaya dan Bintang adalah bukti cinta yang nyata dari mbak Luna? Sesekali saja, cobalah berpikir bagaimana rasanya ada di posisi mbak Luna selama 8 tahun ini. Dalam kepatuhannya sebagai istri, justru tidak mendapatkan cinta dari suaminya.”
“Selepas perpisahan kita bg Arbi, jangan berusaha mencari wanita lain lagi. Jangan cari pelarian lagi. Abg harus kembali kepada mbak Luna. Karena cuma dia yang akan selalu ada untuk abg, dalam keadaan sakit, terpuruk, susah, hanya dia tempat pulang bg Arbi. Hanya mbak Luna.”
Arbi menggeleng. “Dek, abg sama adek bukan sebagai pelarian-“
“Tapi tetap kisah kita adalah cerita yang salah. Dan akan selalu begitu selama masih ada hati yang disakiti,” potong Bona.
Arbi mengangguk. Bukan karena ia paham, tapi lebih tepatnya ia mengalah. “Sekarang, bisakah kita membahas tentang kita berdua saja?”
“Naik perahu?” Bona menghapus air mata di pipinya, lalu tersenyum lebar seakan akan ia tidak pernah menangis.
“Pasti romantis sekali,” tambahnya.
''''''''''''
Dan mereka berdua pada akhirnya menaiki perahu. Perahunya kecil saja, cukup untuk dua atau tiga orang saja, sesekali Arbi mendayung untuk membuat mereka bisa sampai ke tengah.
Bona berusaha untuk terlihat lebih ceria, ia menyesali air matanya yang tadinya terjatuh di hadapan Arbi. Ia tak ingin air mata itu menjadi penahan perpisahan mereka.
“Ini first time adek naik perahu,” ujar Bona dengan memasukkan jemarinya ke permukaan danau, merasakan airnya yang menghangat.
“Adek harus coba banyak hal selagi masih muda. Bepergian ke banyak tempat dan menikmati perjalanannya, mencoba banyak hal baru, berinteraksi dengan banyak hal, lalu menetaplah pada apa yang bisa membuat adek jatuh cinta."
"Menjalin hubungan dengan lelaki yang adek cintai, hanya dengan lelaki yang adek cintai. Lalu melakukan pekerjaan yang adek sukai, tinggal di tempat yang adek sukai. Setelah itu, abg pasti akan benar benar bisa relain adek.”
Jelas Arbi panjang lebar, kentara sekali dengan nasehat perpisahannya.
Bona tersenyum, menahan seluruh kepahitan yang menyerang kerongkongannya. Ia tak yakin bisa hidup sebahagia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomantizmHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...