Pendewasaan

338 26 0
                                    

Ketika engkau datang mengapa disaatku
Tak mungkin menggapaimu

Meskipun tlah kau semaikan cinta
Dibalik senyuman indah
Kau jadikan seakan nyata
Seolah kau belahan jiwa

Meskipun tak mungkin lagi
Tuk menjadi pasanganmu
Namun ku yakini cinta
Kau kesasih hati

Terkadang begitu sukar untuk dimengerti
Semua ini kita terlambat

Aneh sekali bukan lagu tersebut? Orang yang tak bisa dimiliki disebut belahan jiwa. Mungkin ada saatnya, di suatu hari nanti, untuk merunguti kembali alasan perpisahan itu terjadi, tapi tidak sekarang.

Saat ini sudah cukup sesak untuk Bona. Ditambah dengan kebaya yang harus ngepas di badannya membuatnya tak bisa bepikir jernih.

Kebaya berwarna ungu tua tersebut terlihat cantik di kulit putihnya. Kebaya yang sempat membuatnya stres karena harga kain dan biaya menjahitkannya memeras semua isi kantong.

Bona dan beberapa sahabat akrabnya berbarengan memasuki auditorum. 15 menit lagi acara dimulai. Sudah banyak para orang tua yang menempati posisi duduknya. Rata rata dari mereka mengenakan pakaian baru mahal, walau mungkin harus bersusah payah mendapatkannya.

Bona menyusuri auditorium pelan sembari mencari seseorang yang ia undang untuk datang. Nafasnya nyaris berhenti karena tak menemukan apa yang ia cari di ratusan jumlah orangtua yang diundang. Tapi seseorang yang menoleh dari tempat duduknya, mengembalikan napasnya yang tersedak.

“Ibu datang juga,” desah Bona buru buru memeluk wanita yang ia panggil ibu. Bona menatap wajah wanita yang sudah paruh baya itu. “Pake hijab?”

“Ibu ngelakuin ini karena kamu anak kos kesayangan ibu. Ibu takut membuat kamu malu jika datang dengan pakaian seksi, jadi ibu berhijab untuk hari wisudamu ini saja.” Jawab ibu kos yang belum siap jika hijab tak lepas lagi dari kepalanya.

Bona kembali memeluknya, lalu menghapus tetesan air mata yang sudah lama sekali tak ada di wajahnya. Untuk kondisi saat ini, ada ibu kos saja sudah harus ia syukuri. Ia tak ingin menjadi satu satunya wisudawan yang tak punya wali.

''''''''''''''''''''
Bona menyenderkan tubuhnya ke sofa, sudah sepuluh menit ia menunggu tapi Arbi tak kunjung datang. Ia sudah meneleponnya, Arbi bilang akan segera berangkat.

Lelaki itu masih di kantor, menjawab telepon Bona sambil masih harus berdiskusi dengan temannya.

“Bro, laporan yang sama lo harus siap malam ini ya, kirim pdf aja, soalnya masih mau diperiksa,” di tengah percakapannya dengan Bona, Arbi berujar pada seseorang.

“Bi, hasil OTT kemarin udah sama lo kan?” seseorang yang lain terdengar menyahut sambil terus berjalan.

“Iya, besok kayaknya udah bisa ditindak lanjuti.” Jawab Arbi lagi.

Bona memberi waktu untuk Arbi menyelesaikan tugasnya. Arbi masih membalas beberapa pertanyaan teman temannya sebelum akhirnya keadaan cukup lengang setelah ia berhasil mengeluarkan diri dari ruangan sakral tersebut.

“Dek, abg udah mau jalan kok, seperempat jam lagi kayaknya sampe.” Ucapnya setelah melihat ia masih terhubung dengan Bona.

“Oke, hati hati nyetirnya.”

Desahan napas Bona terdengar lagi, tapi tiga anak kos yang ada disana seperti sudah biasa jika ada yang mendesah berat. Pembicaraan yang bisa bertahan lama pasti tentang lelaki kaya kenalan mereka. Atau cewek lain yang dianggap saingan dan sedang mendapat masalah, makanya ketiganya bisa ketawa ketiwi tidak jelas.

OTT? Bona teringat seruan seseorang di balik telepon tadi. Operasi tangkap tangan? Apa Arbi seorang polisi? Sudah sebulan sejak mereka melakukan pendekatan, tapi Arbi masih tak mau memberitahukan pekerjaannya.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang