Rindu Sendiri

404 30 0
                                    


Bona mendesah, terasa berat sekali baginya. Ia menatap sendu pada baju toga yang ia ambil di sela sela istirahat makan siang.

Setelah kucar kacir nyaris 5 bulan selepas ia PPL KKL, akhirnya ia bisa menyelesaikan skripsinya. Ia juga harus menunggu 4 bulan lagi untuk bisa ikut wisuda kloter kedua dan hari Sabtu nanti adalah momentnya.

Gajinya bulan ini dan pinjaman kantor yang ia ambil telah habis semua untuk  biaya perlengkapan wisuda. Bona mengambil jurusan Pendidikan Biologi di salah satu PTS, lalu mendapatkan pekerjaannya dibutik karena saat itu karyawan di butik sedang dibutuhkan.

Jika masuk shif malam, ia akan menyempatkan bimbingan skripsi paginya. Jika shif pagi, ia semalaman begadang menyusun skripsi.

Skripsi tidak terlalu sulit, yang sulit itu mengejar ngerjar dosennya. Karena sering sekali jadwal bimbingannya bentrok dengan jam kerja. Dan di tempat kerjanya tak ada toleransi untuk ketidakdisiplinan, jadi skripsi sering sekali ia korbankan.

Masa masa naas itu terlah berlalu, tapi rasa sedihnya belum. Belum karena dulu orang yang ia pikir akan menjadi pendamping wisudanya tak lagi ada disisi.

Sedih karena wisuda harus jadi moment kebersamaan dengan keluarga besar, tapi ia tak punya. Atau lebih tepatnya tak bisa mengumpulkan keluarganya lagi.

“Jam istirahat udah mau selesai Na, lo gak mau makan?” tanya Raya yang sudah sibuk mengolesi lipcream wardah ke bibirnya. Pekerjaan mereka memang menuntut agar mereka selalu terlihat menawan sepanjang hari, jadi pasti semua karyawan akan kembali bersolek selepas makan siang.

“Sabtu nanti lo gak bisa datang Ya? Ini wisuda gue loh, gue setengah mati buat dapetin ini.” Keluh Bona memelas.

“Jam makan siang gue datang Na, lo tau kan jadwal gue masuk pagi untuk hari sabtu nanti.”

“Trus, ntar siapa yang jadi wali gue buat masuk ke auditorium?”

Pertanyaan Bona yang Raya tak pernah punya jawabannya. Apa yang harus di katakan Raya jika ini mengenai hidup Bona.

Ayah Bona meninggal hampir setahun lalu, hanya mengalami sakit sekitar dua minggu dan menghembuskan napasnya dengan wajah damai sekali. Tanpa terlihat sakit berarti saat sakaratul maut datang.

Dan ibunya, ah, entahlah. Ibunya terlalu sibuk berpindah kesana kemari untuk menghindari hutang rentenir yang bunganya melilit mereka. Bahkan sebulan ini Bona belum mendapat telpon apapun dari ibunya hanya untuk bertanya kabar atau memberitahukan keberadaannya.

Dan abg satu satunya yang ia punya.... akh, lupakan aja. Tangannya bergerak ke ponsel. Sudah tidak ada kontak bernama Arbi disana, tapi ia hapal kombinasi angka untuk menghubungi lelaki itu. Andai ia berani. Kombinasi dengan 8 angka 2 dari 12 digit nomor. Andai ia masih punya alasan untuk menghubungi lelaki itu.

“Aku kangen kamu bg Arbi,” desahnya di dalam hati. Rasa rindu yang sekarang sudah terlarang untuk ia ungkapkan.

“Na, lo tau gak, semalam gue jalan sama pelanggan yang kemarin beliin tuxedo, lo ingat kan? Gue dapet banyak duit dari dia. Ntar gue beliin lo bunga super besar untuk wisuda nanti.”

Raya berujar setengah berbisik agar yang lain tak mendengar. Raya masih tak mengubah kebiasaan buruknya yang sudah membuatnya ketagihan.

Apalagi jika pacarnya yang sudah ia pacari sejak SMA tak bisa di hubungi atau berulah. Keluar dengan suami orang lain akan ia jadikan sebagai pembalasan.

Bona menjauhkan tatapannya dari Raya. Sedikit banyak Raya juga menjadi alasan kandasnya hubungan antara ia dan Arbi. Hanya penyebab kecil, tapi ia tak bisa melupakannya.

“Menurut lo kalo gue hubungi bg Arbi gimana?” tanyanya tanpa menoleh. Pandangannya tertuju pada langit biru. Benar benar biru karena awan awan yang menaungi kesana lenyap setelah beberapa hari ini tak turun hujan.

“Entahlah, coba aja. Lo mau minta dia datang ke acara wisuda lo?”

Iya, kata “entahlah” adalah ungkapan paling cocok mengenai Arbi. Entah tindakan apa yang tepat agar perasaan Bona lega. Dipertahankan sudah, dilepaskan pun sudah. Tapi tak ada dari keduanya yang melegakan hatinya.

“Ya, gue bener bener kangen sama bg Arbi...” Ucap Bona konyol dengan tatapan super sendu menahan air mata. Raya menatapnya lama.

Bukan cuma Bona, Raya juga merasakan hal yang sama. Siapa yang tidak rindu pada lelaki sekeren, sedewasa dan seunik Arbi? Hanya saja, bagi Raya untuk apa? Ia masih punya beberapa lelaki lain yang bisa diajak keluar dan senang senang jika pikirannya suntuk.

Tapi Bona tak punya lelaki lain lagi. Ada banyak yang datang, tapi ia tak ingin keluar jika bukan Arbi.

Dua jam waktu istirahat mereka selesai dengan ada beberapa butir air mata yang harus di lap Bona ketika ia berkaca di toilet. Rindu yang semakin hari tak tertahankan lagi.
.
.
.
.

Selepas perpisahan kita bg Arbi, ada banyak sekali cobaan hidup yang harus ku tanggung. Aku bisa saja pergi ke lelaki lain untuk mengadukan masalahku.

Kamu tau, bukannnya tidak ada lelaki lain yang mengatakan jika aku ada masalah, apapun itu, ia akan selalu siap membantuku. Ada seorang lelaki lain yang bisa kujadikan bahu tempat bersandar dari meletihkannya hidup ini. Tapi untuk apa jika itu bukan kamu?

Berturut turut ada banyak masalah yang harus ku hadapi. Aku baru 21 tahun untuk menghadapi semua masalah ini sendirian. Aku ingin ada kamu. Tapi kamu tak ada. Sisa sisa ucapanmu dahulu yang kujadikan pegangan untuk mendapat sedikit ketegaran.

''''''''''''''

“Udah sholat?” tanya Arbi melalui telepon, sambil ada banyak berkas yang menumpuk di mejanya.

Beberapa temannya sibuk memanggil karena mereka sudah harus ke kejaksaan melimpahkan berkas.

“Belum, heheh,” Bona canggung mengakuinya.

“Tuh ya, tiap abg tanyain udah sholat apa belum, jawabannya keseringan belum. Gak lagi PMS kan?"

“Iya, iya, ini adek pergi sholat kok.”

“Ya udah sholat dulu gih, trus kerjanya jangan sampe kecapean. Abg tutup teleponnya ya.”

Obrolan mereka hanya sekitar dua menit. Pacar apaan yang menhubunginya tak pernah lebih dari 5 menit. Tapi Bona tetap suka dan senyum berseri seri menuju mushola di mall tersebut.

Dua menit saja pun cukup jika itu bisa mengingatkannya pada kebaikan. Untuk apa mendengarkan bualan lelaki sampai berjam jam jika tak ada benarnya.

Untuk beberapa waktu itu, Bona terasa dekat sekali dengan sang Pencipta.

Jika bukan sholat yang kau ingatkan, bg Arbi, aku mungkin akan rusak selepas kepergianmu.

'''''''''''''''
                               

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang