Bona menatap ke luar, hujan sedang memenuhi bumi. Di Indonesia hujan bisa turun kapan saja, tak mengingat musim penghujan atau kemarau.
Beberapa yang lain masih sibuk mencari tempat berteduh, dan ada banyak pengendara yang lebih memilih menebas hujan agar cepat sampai ke tujuan.
Bona duduk sendirian, dengan capucino panas di atas meja. Ia sengaja keluar dari tempat kos karena merasa suntuk terus mengingat apa yang tidak baik untuk di ingat. Tapi di tempat asing sekalipun, ingatan itu terus kembali.
Ponselnya berdering. Tanpa banyak berpikir ia langsung mengangkatnya.
“Bona kerja hari ini?” tanya orang di sebrang, suara seorang lelaki.
“Ngak bg, lagi off.”
“Jadi bisa keluar sama abg?” lelaki itu berharap.
“Tapi hujan?”
“Ya ampun, Bona, kan bawa mobil. Mau ya?”
Bona berpikir sejenak. “Off adek sekali lagi ya kita ketemunya,” tawarnya.
Ia tertawa pelan setelah menyadari ia baru saja menyebut dirinya sebagai adek di depan lelaki yang bukan Arbi.
Ia tak banyak berhubungan dengan lelaki lain selepas Arbi. Tapi lelaki ini cukup intens menghubunginya, hanya beberapa menit karena Bona tak suka lama bertelepon.
Dan lelaki lain selalu memanggil namanya dalam mengobrol, atau sesekali memanggil sayang. Tak ada yang begitu memanjakannya dengan menyebutnya adek.
Panggilan adek hanyalah dari Arbi, yang membuatnya jatuh manja dan disayang.
Bona mendesah setelah teleponnya di matikan. Ia menatap layar ponsel, menelusuri bagian kontak. Tak ada lagi nomor ponsel Arbi disana. Sudah lama ia hapus sebagai cara agar tak menghubungi lelaki itu lagi.
Tapi lagi lagi, ia masih hapal nomor Arbi. Tak ada lagi angka yang bisa ia ingat selain kombinasi nomor Arbi.
Ponselnya berdering lagi, dari abgnya. Banu namanya, abg kandungnya. Usia abgnya 30 tahun ini. Masih sama menyebalkannya ketika Bona teringat agama mereka sudah tak lagi sama.
“Iya bg,” ujar Bona, sudah lumayan senang sekarang jika mendapat telepon dari abgnya.
“Lagi dimana dek?” tanyaknya. Ah, iya, ada satu lagi lelaki lain yang memanggilnya adek, tentu saja abg kandungnya.
“Di cafe, lagi minum. Disini hujan, kenapa bg?”
“Nanti malem datang ke rumah abg ya, kita makan malem bareng. Lagi ada peringatan tujuh bulanan calon keponakan kamu,” abgnya semangat membicarakan calon bayinya.
“Oke, nanti sekalian Bona bawain hadiah buat calon keponakan. See ya tonight,” ujarnya menyelesaikan percakapan.
Untuk kesekian kalinya setelah selesai menerima telepon, Bona menarik napas panjang.
Jika bukan karena tindakan Arbi, mungkin sampai sekarang ia akan tetap memusuhi abgnya. Hatinya sulit untuk luluh. Apalagi abgnya tidak pernah menjelaskan apapun, satu patah kata saja untuk membuatnya bisa memaafkan.
Jika bukan Arbi yang mengubah sudut pandangnya, maka mungkin Bona takkan punya keluarga lagi.
Ingatan Bona terhempas ke sepuluh bulan kemarin. Saat Arbi berhasil meyakinkannya untuk datang menemui Banu.Bona mengkuncir dua rambutnya, menari nari ketika ia menggerakkan kepalanya. Ia dan Arbi janjian untuk pergi ke ancol. Bona dengan pedenya mengenakan jumsuit jeans dan kaos oblong, penampilannya remaja sekali.
Ia masuk ke mobil setelah Arbi melakukan kegiatan rutinnya, mengobrol dengan ibu kos beberapa menit.
Sebelum melajukan mobilnya, Arbi mencuri kecupan lagi dari pipi Bona yang terlihat menggemaskan sekali dengan rambut kepang duanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomansaHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...