Obsesi

323 22 0
                                    

Bona duduk di count food salah satu swalayan, sambil menikmati popmie di depannya. Ia sedang menunggu Luna, ada hal yang harus ia pastikan.

Saat masih menyesap popmienya, Bona melihat Luna turun dari mobil, menyebrang mendekat ke arahnya.

Jika mata Arbi terbuka, Luna sebenarnya kelihatan cantik. Kulitnya kuning langsat, terlihat bersinar saat matahari menyinari kulitnya, gaya berpakaiannya juga masih modis seperti anak muda pada umumnya.

Rambut panjang Luna yang lurus terlihat beterbangan diterpa angin. Sungguh dia cantik.

“Maaf dek, udah lama nunggu ya?” tanyanya pada Bona.

“Mbak, jadi mbak bisa ada di Jakarta cuma hari sabtu minggu aja?” Tanya Bona yang tak bisa berbasa basi.

“Iya. Selama proses perceraian kami, saya berusaha sesering mungkin untuk ada disini, agar Attaya dan Bintang punya kenangan bersama papa mereka."

"Takutnya jika kami sudah berpisah, mas Arbi akan jarang menemui anak anak. Oh iya, kenapa adek ingin menemui saya?”

Bona mengalihkan pandangannya ke jalanan, ingatan tentang perjanjiannya dengan Arbi sungguh menyesakkannya sekarang.

Kesepakatan yang tak pernah ia iyakan, tapi bagi Arbi, kesepakatan itu akan tetap jadi kesepakatan.

“Tentang bang Arbi mbak,” ujar Bona meneguhkan hati.

“Iya, kenapa dengan mas Arbi? Apa dia mengatakan sesuatu kepada adek?”

“Bg Arbi bilang akan memberikan kesempatan bagi kalian selama sebulan ini untuk memperbaiki hubungan kalian. Mbak Luna akan ada di Jakarta selama sebulan ini kan?”

Luna mengangguk. “Ternyata mas Arbi cerita juga sama adek. Saya sudah ambil cuti agar selama sebulan ini bisa ada untuk dia."

"Menghabiskan moment moment terakhir kami, yang semoga bisa merubah keinginannya untuk mempertahankan rumah tangga kami lagi.”

Bona menggenggam tangan Luna erat erat,  berusaha meneguhkannya.

“Mbak Luna harus bisa merubah pikirannya bang Arbi, mbak harus buat rumah tangga kalian utuh lagi. Selama sebulan ini berikan yang terbaik buat bg Arbi, perlakukan dia seperti apa yang dia ingin. Buat bang Arbi sayang lagi sama mbak Luna ya,” pinta Bona memohon.

Karena ia tak ingin jika Luna gagal untuk menjatuhkan hati Arbi selama sebulan ini, maka ia harus membayar harga yang sangat mahal. Harga dengan menikam Luna dari belakang.

“Adek Bona ini sepertinya peduli sekali dengan rumah tangga kami. Adek sebenarnya seberapa dekat dengan mas Arbi? Apa mas Arbi cerita sesuatu sama adek?”

Bona menelan air liurnya, menahan kegelisahan yang semakin menderanya.

Alasan apa yang harus ia katakan pada Luna sampai ia terlihat ikut campur dengan masalah mereka.

“Dek Bona, kok jadi melamun?”

“Eh?” Bona tersentak, lalu berusaha menenangkan dirinya.

“Iya, sesekali bang Arbi cerita sama saya soal mbak dan anak anak. Ia seperti orang yang kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Jika dia tidak bisa hadir untuk mbak Luna, harusnya mbak yang hadir buat bang Arbi."

"Jangan lagi buat dia merasa sendirian, lebih sering hubungi dia, atau bercerita tentang Bintang dan Attaya. Buat bang Arbi merasa di butuhkan lagi, agar ia tau cara kembali kepada mbak Luna.”

Entah bagaimana kata kata itu meluncur sendiri dari mulut Bona. Ia sendiri sebenarnya tidak benar benar paham bagaimana Arbi ingin di perlakukan.

Yang ia tau hanya sudah terlalu jauh jarak antara Luna dan Arbi, seolah olah mereka bisa hidup sendiri tanpa satu sama lain.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang