Berseteru

294 25 2
                                    

Nama istrinya Arbi adalah Luna. Bona masih ingat saat Arbi memberitahunya sekaligus menjelaskan semuanya kepadanya di restoran.

Bertemu dengan Luna sudah di luar nalar kemampuannya, dan kini bertemu dengan Luna dan Arbi sekaligus dan membuat mereka harus berkomunikasi lebih tak masuk akal bagi Bona.

“Adek disini?” tanya Arbi dengan suara bergetar. Ia masih belum sadar dengan Attaya yang minta di gendong.

Bona mengalihkan wajahnya, berusaha meredakan aliran listrik yang menyengat sampai ke ulu hatinya. Jika ia sampai menangis maka ia bisa mengacaukan rumah tangga Arbi.

Jadi sekeras mungkin ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia pasti bisa menghadapi ini, bukankah dulu saat pertama kali melihat Arbi datang bersama istri dan anak anaknya di acara pesta itu ia juga mampu menahan diri.

“Kami tadi bertemu di swalayan dan dia mengenali Bintang, jadinya kami mengobrol bersama sambil berbelanja. Bunda udah buat adeknya jadi pulang kemaleman, sekalian dia kita anter ya mas.”

Jelas Luna melihat Bona yang masih belum bicara.

“Kalian.... belanja bersama?” Arbi semakin shock mendengar pernyataan istrinya.

“Tante Bona cantik yah pah?” ujar Attaya yang akhirnya menyadarkan Arbi bahwa sejak tadi pandangannya masih tertuju pada Bona. Ia segera menggendong Attaya ke pangkuannya.

“Aku... aku akan menunggu taxi datang saja, rumahku tidak terlalu jauh dari sini, aku sudah biasa kok melintasi daerah ini.” Ujar Bona, berusaha sewajar mungkin tapi suaranya tetap bergetar.

“Tante mau nangis ya, kok matanya merah gitu?” Attaya kembali ikut menimpali, membuat Bona semakin kacau saja.

Ucapannya membuat semua pandangan tertuju pada mata memerah Bona. Gadis itu menunduk menghindari pandangan.

“Adekk... sakit?” tanya Luna hati hati.

“Aku akan cari taxi saja,” Bona berusaha melarikan diri.

“Ikut dengan kita saja, ayo.” Arbi mengambil keputusan sepihak. Jika ia sudah membuat keputusan, apapun itu, berarti memang itulah yang akan terjadi.

Jika Bona tidak menurutinya, ia bisa marah di hadapan mereka semua. Untuk sesuatu yang sudah final bagi Arbi, Bona harus menurutinya.

Bona menatap nanar ke arah Arbi yang berjalan ke mobil, membuka pintu belakang agar Attaya dan Bintang masuk kesana, lalu ia bergerak menuju kemudi.

Luna memegang lembut tangan Bona, meyakinkannya untuk ikut dengan mereka.

“Kalo mas Arbi udah ngambil keputusan, lebih baik kita ngikuti aja. Kalo adeknya kenal mas Arbi, maka adek bakal ngerti arti keputusan bg Arbi,” nasehatnya pada Bona.

Berat hati sekali bagi Bona duduk melangkah ke mobil, duduk diantara Bintang dan Attaya. Bintang menoleh ke arah Bona, persis seperti cara Arbi menatapnya, selalu dalam dan penuh telisik.

“Tante sakit?” tanya Bintang dengan memegang tangan Bona.

Anak berusia 7 tahun itu lebih pendiam daripada adiknya, tapi ia tampak cukup dewasa ketika mengusap tangan Bona.

"Kamu tahu Bintang, kamu pasti akan sangat membenci tante jika tau tante sudah menyakiti bundamu. Banyak sekali orang yang terlihat baik tapi sebenarnya tidak. Salah satunya tante."

"Jika tante punya kesempatan, ingin sekali tante bisa menebus semuanya. Membayar perhatian ayah kalian yang tante rebut. Tapi apa ada cara yang lebih layak untuk menebus semuanya terkecuali dengan pergi sejauh mungkin."

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang