Anak Anak

257 22 0
                                    

Bona punya kesibukan baru akhir akhir ini. Menjadi teman curhat, teman menasehati dan teman menguatkan bagi Luna yang tampaknya apa apa langsung bercerita kepadanya.

Seperti sekarang ini, sepulang ia dari sekolah, Luna sudah menunggunya di depan gerbang.

“Kamu sibuk apa sih Na?” tanya Arka sebal. Seminggu sudah ia meminta agar bisa lunch bareng dengan Bona, tapi tak pernah mendapat iya dari gadis itu.

“Ibu kok sombong banget sih. Leo bener bener ngak ngerti buk soal pelajaran biologinya, yang bagian sistem peredaran darah loh,” ujar Leo, yang juga ingin sekali bisa duduk bersama guru kesayangannya ini.

“Nilai ujian terakhir kamu seratus Le, bagian mana yang ngak ngerti sih. Ibu bener bener sibuk akhir akhir ini.”

“Sibuk pacaran? Sama cowok yang pernah jemput ibu pake mercy? Bu Leo juga punya mobil, kita ketemuan di luar aja biar bawa mobil. Ke sekolah emang udah jadi rutinitas bawa sepeda.” Bujuk Leo.

“Ngak ada hubungannya sama mobil Le,”

“Trus, kenapa ngak mau aku ajak makan bareng sambil ngajarin aku pelajaran yang ngak aku ngerti.”

“Selepas dua minggu ini ya Le, ibu bener bener ada masalah yang harus di selesaiin segera.”

“Ibu putus sama pacarnya?” Leo yang masih menuntun sepedanya sambil berjalan di samping Bona terus menerus mencerca pertanyaan.

Bona lebih memilih bungkam atau sekedar senyum, sampai akhirnya bisa melepaskan diri dengan masuk ke mobil Luna.

“Sepertinya adek jadi guru idola disini,” ujar Luna yang teringat kembali dengan informasi yang ia dapat, bahwa suaminya yang membuat Bona bisa mengajar di sekolah ini.

“Tidak kok, itu hanya murid yang minta jam tambahan lebih.”

“Ngomong ngomong adek punya kenalan orang dalam ya, kayaknya bisa langsung ngajar di sekolah elit tanpa ada pengalaman terlebih dahulu itu biasanya sulit,” apapun yang bisa Luna korek dari Bona, akan ia korek.

“Iya, cowok yang waktu kita ketemu di games zone, dia adalah kepala yayasan di sekolah ini, menggantikan ayahnya yang baru pensiun.”

Bona sebenarnya mengerti arah pembicaraan mereka yang sebenarnya.

“Adek Bona, ini adalah minggu terakhir kencan pernikahan kami. Jika kencan ini tak bisa mengubah keputusan mas Arbi, saya dan anak anak akan kehilangan dia selamanya."

"Saya sudah janji padanya, jika saya tak bisa mengubah keputusannya, selama masa persidangan saya tidak akan hadir ke pengadilan agar proses perceraian cepat selesai.”

Bona mendesah. Ia juga ada di ambang keputus asaannya.

“Mbak Luna, selamanya anak anak ngak akan pernah kehilangan bang Arbi. Cuma keadaan kalian yang berubah, tapi dunia mau berubah sejauh apapun, bang Arbi tetaplah ayah dari Bintang dan Attaya."

"Selamanya akan tetap begitu. Tak ada perceraian yang bisa memutuskan hubungan darah orangtua dan anak. Mungkin mulai sekarang mbak harus mulai belajar, untuk percaya kepada bang Arbi.”

Luna yang menyetir menoleh ke arah Bona. Di pikirannya, bagaimana bisa anak kecil ini menasehatinya. Bagaimana bisa Bona bersikap lebih dewasa di bandingkan dirinya.

“Anak anak mungkin tidak kehilangan dia, tapi kehilangan waktunya. Satu satunya yang akan kehilangan mas Arbi adalah saya. Kehilangan suami yang bertahun tahun saya usahakan untuk menjatuhkan hatinya.”

Tangan Bona terkepal satu sama lain, lagi lagi rasa bersalah melilit lehernya.

“Mbak Luna pernah dengan kalimat yang mengatakan jika kita terlalu mencintai seseorang justru kita tidak akan mendapatkannya. Jika kita terlalu menginginkan sesuatu sampai ngotot untuk mendapatkannya, justru kita akan kehilangannya. Mbak Luna pernah kan dengar kalimat itu?”

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang