Kesepakatan

362 25 1
                                    

Arbi melepaskan pelukan mereka, kemudian memandangi lamat lamat wajah Bona.

Setelah yakin bahwa itu memang Bona sungguhan, bukan hanya khayalannya saja seperti selama ini, Arbi kembali memeluknya, dengan lebih erat.

“Abang kangen banget sama adek,” bisik Arbi lirih. Ketahuan sekali betapa ia rindu Bona. Amat sangat.

Berbulan bulan ia nyaris merasa dirinya tak normal karena melihat siapapun selalu menjelma menjadi Bona.

Napas Bona menderu, rasa khawatirnya memuncak, bersamaan dengan rasa cintanya yang menguap ke permukaan. Untuk jarak 6 bulan dan tanpa kabar apapun, rasa rindu sudah nyaris mematikan hatinya.

Tapi hati yang beku itu kembali menghangat hanya dengan satu pelukan Arbi. Satu pelukan saja.

“Adek mau bicara sama abang.” Bona menjauhkan tubuhnya dari Arbi setelah sadar kedua resepsionist di depan mereka semakin melotot matanya.

“Mau ngomong soal apa? Ibunya adek? Kita ngomongnya di ruangan abang ya?”

Arbi lupa dengan janjinya 6 bulan kemarin soal merelakan Bona. Tanggannya tergenggam erat di jemari Bona, seakan akan ia takkan melepaskan gadis itu lagi.

Seolah hubungan mereka masih sama seperti 6 bulan kemarin.

Bukankah Arbi yang bilang Bona boleh bersama lelaki lain yang lebih baik? Tapi melepaskan seseorang memang tidak menjamin perasaan cinta juga ikut terkerus.

Arbi membawa Bona ke ruangan kerjanya, ruangan yang dulu sangat di kagumi Bona. Arbi masih memesan makanan saat Bona duduk di sofa yang menghadap dinding transparan.

Memandangi Jakarta dari gedung KPK. Yang paling mudah terlihat adalah jalanan yang tak pernah lengang.

“Abang udah pesan makanan,” ujar Arbi ikut duduk di samping Bona.

Bona menatap ke arahnya. Lelaki ini masih terlihat sama memukaunya seperti saat mereka dulu duduk disini. Rahang tegas dan tubuh tegap, sekalinya ia tersenyum, Bona rasa dunia menjadi jauh lebih baik.

Sorot matanya selalu dalam menatap siapapun, tapi Bona juga mengerti ada luka di manik mata itu ketika memandangi dirinya.

“Bang Arbi...” panggil Bona.

“Ya dek?” Arbi memiringkan tubuhnya menghadap Bona.

“Terimakasih karena sudah menemukan ibuku. Abang tidak perlu mengkhawatirkan adek lagi. Bukan soal ibu yang ingin adek bicarakan sama abang. Ini soal mbak Luna.”

Rahang Arbi langsung mengeras mendengar nama istrinya disebut. Arbi berusaha untuk menata ekspresinya, tapi membicarakan Luna sudah tak lagi sama seperti dulu.

Dulu Arbi bisa gamblang membicarakan masalah rumah tangganya pada Bona, tapi sekarang entahlah.

Kedua tangan Bona gemetaran, ia sudah nyaris tidak sanggup berbicara kepada Arbi. Ia sudah ada di luar ranah kehidupan pribadi Arbi sekarang, tapi terus menduga duga bahwa ialah penyebab perceraian Arbi.

“Kenapa?” Tanya Bona. Suaranya seperti orang yang akan menangis. Ia menggigit bibirnya kuat kuat agar tangisannya tak meledak.

“Apanya?” Arbi balik bertanya, meski sudah paham maksud Bona.

“Ke-kenapa, kenapa bang Arbi ingin menceraikan mbak Luna?” suara Bona bergetar di dinding dinding ruangan.

Arbi terdengar mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berusaha melepaskan dasi yang sejak tadi belum juga berhasil ia longgarkan. Bona menghentikan gerakan tangan Arbi.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang