Bona melirik ke arah Arbi, curiga dengan pacarnya ini yang entah tau dari mana kediamanan abgnya. Arbi terlihat cuek, tanpa perlu di aba aba ia sudah mengetuk pintu.
Rumah di hadapan mereka ini terlihat lumayan bagus, membuat Bona semakin tak percaya diri untuk bertemu dengan Banu.
“Iya, siapa?” tanya seorang ibu separuh baya yang datang dari balik pintu.
“Permisi Bu, Banu nya ada, adeknya Bona mau ketemu sama dia,” sapa Arbi.
Ibu paruh baya tersebut langsung tertuju pada Bona, menelisik gadis itu dari bawah sampai atas. Ia menggangguk pelan.
“Saya ibunya Vanessa, istri Banu. Mereka masih ada di gereja, kalian silahkan tunggu di dalam saja,” ucapnya berusaha santun walau Banu tak banyak bercerita soal anggota keluarganya.
“Tidak, kami akan menunggu di luar saja,” jawab Bona cepat. Mentalnya tidak cukup baik untuk menghadapi apa yang belum pernah ia bayangkan.
Bibirnya tersenyum tipis untuk meyakinkan mereka akan lebih baik ada di teras.
Jadi, Arbi dan Bona menunggu di teras dengan minuman dan cemilan yang diantarkan asisten rumah tangga. Bona terlihat gelisah, lebih kepada tidak sabaran. Menyelesaikan pertemuannya dengan Banu, lalu segera melupakan semuanya.
“Taat sekali dia ke gereja, dulu jumatannya saja sering bolong,” omel Bona cemberut. Ia menggerutu tidak jelas dengan ketukan kaki ke lantai yang terlihat khawatir.
“Dek,” panggil Arbi membuat Bona menoleh padanya. “Nanti jangan bahas soal agama dulu sama Banu, karena ini pertemuan pertama kalian mungkin itu bisa jadi hal sensitif.
Adek boleh nangis atau marah, tapi jangan bahas soal beda keyakinan kalian untuk sekarang ini.” Nasehat Arbi. Selalu, ia selalu tau apa apa yang baik dan buruk bagi Bona.
“Abg kayaknya lebih belain bg Banu deh,” gadis itu masih suka mengomel.
Arbi hanya tertawa untuk meresponnya, ia sudah terbiasa dengan semua sikap Bona. Ia tau mana yang harus di dibiarkan atau di tanggapi lebih jauh.
Nyaris sejam mereka menunggu di teras, sesekali Arbi menggenggam tangan Bona untuk menghilangkan keresahan. Mobil pajero putih berhenti di depan rumah, Banu dan istrinya turun dari mobil tersebut.
Bona langsung berdiri kaku padahal tadi ia sudah cukup tenang saat Arbi menggenggam tangannya. Entah bagaimana perasaannya melihat Banu yang bisa mengendarai mobil mewah padahal dulu abgnya meninggalkannya antara mereka masih bisa makan atau tidak.
“Nana...” ucap Banu, memanggil Bona dengan nama kecilnya. Mendengar itu Bona semakin tak suka saja. Ia tak suka mulai berharap keluarganya akan seperti sedia kala.
“Adek udah lama nunggu abg?” Banu menggenggam tangan Bona, takjub gadis super keras kepala itu bisa menemukan rumahnya.
“Abg kangen banget sama Nana,” tambahnya.
Bona tidak tau harus merespon bagaimana, ia mengalihkan pandangannya tapi malah tertuju kepada Vanessa. Ia bahkan baru saja tau nama istri abgnya.
Gadis itu cantik seperti kategori cantik pada umumnya, kulit putih, tubuh langsing, rambut di warnai kecokelatan dan wajah mulus.
“Na, dia istri abg, namanya Vanessa. Kamu salam dulu gih kakak ipar kamu,” Banu masih semangat, melupakan ekspresi muak Bona.
Bona uring uringan mengulurkan tangannya, menjabat tangan mulus Vanessa. Ia sebenarnya ingin tertawa meledek. Kakak ipar?
Sejak kapan dia mengakui dia punya kakak ipar? Jika bukan atas semua usaha Arbi, takkan pernah ia ada disini.
“kita masuk ke dalam dulu yuk, kita makan dulu, biar abg kenalin ke ibu sama ayah. Ada banyak banget hal yang mau abg ceritain ke adek,” Banu menarik tangan Bona tapi gadis itu segera menghempaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
Roman d'amourHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...