“Ya hallo,” ujar Bona mengangkat telepon, di sela sela ia membaca bukunya Asma Nadia, jangan bercerai Bunda.
“Nana...” terdengar suara lirih di balik telepon.
“Mah, ini mama ya?” Bona meletakkan bukunya sembarangan, lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Nana, mama butuh uang, kamu bisa kirim uang buat mama kan? Mama butuh sekarang?” ujar mamanya semakin lirih.
“Mama dimana sekarang? Bona datang ya,” pinta Bona menahan rindu yang menggebu.
“Uangnya saja Na, mama butuh uangnya sekarang ya, enam juta lima ratus, kamu masih ingat nomor rekening mama kan? Dikirim sekarang ya mama mau berobat, maag mama lagi kambuh,”
Mata merah Bona melotot, lalu mengalirlah air matanya. Lagi, akhir akhir ini ia sering sekali menangis. Ia berusaha menahan sesenggukannya agar ibunya tidak bertambah khawatir.
“Dikirim nanti malem bisa mah? Bona nyari uangnya dulu ya?” bujuk Bona, menenangkan ibunya.
Ibunya punya penyakit maag akut, sudah cukup parah jika pola makan dan jenis makanannya tidak beraturan.
“Iya nanti malem, dikirim ya Na. Mama sayang banget sama Nana, nanti kalo udah di saat yang tepat, kita akan berkumpul seperti sedia kala lagi. Mama tutup teleponnya ya, ini mama nelpon dari telepon umum.”
Tit tit tit, lalu terdengar bunyi telepon yang di putus sepihak.
Waktu yang tepat, tanya Bona dalam hatinya. Mungkin bukan menunggu waktu yang tepat yang mereka perlukan, tapi menerima kenyataan bahwa keluarga mereka memang sudah tidak utuh lagi.
Lamunan Bona tersentak ketika mengingat jumlah uang yang harus ia cari sampai nanti malam, padahal ini sudah menjelang siang.
Kemana ia harus mencari uang sebanyak itu jika gajinya yang sebatas UMR saja sudah ludes bulan ini. Kenapa dia? Kenapa tidak kepada Banu saja ibunya meminta tolong karena kehidupan Banu yang sudah sejahtera.
Kepada siapa dia harus mengadu meminta pertolongan. Sial. Bona tak punya siapa siapa di dunia ini untuk dimintai pertolongan.
Ia takkan mungkin kembali menghubungi Arbi, lalu dengan tidak tahu malunya meminta uang kepada lelaki itu.
Setelah berpikir setengah jam, ia menemukan satu nama yang mungkin bisa membantunya. Tapi satu nama itu terlalu beresiko untuk hidupnya.
Ah, bodoh amat dengan semuanya, bukankah minggu kemarin dia sudah berjanji akan bertemu dengan lelaki tersebut jika ia off kerja.
Bona menelepon lelaki tersebut, bg Reki nama lelaki itu di ponselnya. Ia tidak perlu menunggu lama agar teleponnya di jawab.
“Iya, Bona, kenapa?” ujar Reki di sebrang sana. Bona menarik napas mendengar suara tersebut.
“Abg masih di tempat kerja ya, belum istirahat makan siang?”
“Jarang loh Bona nanyak kayak gini ke abg, kamu lagi libur kerja ya?”
“Iya, aku lagi libur kerja,”
“Jadi, kita ketemu hari ini? Bona mau abg jemput jam berapa?”
“Sekarang,”
Lelaki tersebut tertawa, terdengar cukup bahagia gelak tawanya. “Iya sayang, abg jemput sekarang ya, yaudah Bona mau nunggunya dimana?”
“Di depan gg, yang deket jual bakso ojolali, tau kan?”
“Iya sayang, abg berangkat ya,” selembut itu Reki memanggil Bona dengan sebutan sayang.
Bona sudah lama mengenal Reki, sebelum ia mengenal Arbi. Reki salah satu pelanggan di butik, biasanya ia memesan beberapa orderan sekaligus untuk keperluan di perusahaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomanceHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...