Kursi Kayu

260 21 0
                                    

31 KURSI KAYU

“Na, kamu sakit?” Tanya Arka yang semakin khawatir, genggaman tangannya di lengan Bona semakin kuat.

“Tante Bona sakit?” Attaya ikut bertanya, ia juga terlihat khawatir.

Bona mengabaikan mereka semua, pandangannya terarah pada Arbi. Alasan apa yang harus ia berikan kepada semuanya, terutama karena Luna ada disini? Bona ingin Arbi yang menyelesaikan masalahnya.

“Tante Bonanya lagi sakit, sayang,” ujar Arbi yang mengerti arti tatapan Bona.

“Adek mau di anter kerumah sakit dulu atau langsung pulang aja? Arka tau kosnya adek dimana kan?” Sambungnya Arbi.

Bona menghapus air matanya, ia tidak tau harus memberi alasan apa kepada kedua malaikat kecil Arbi.

“Adek mau langsung pulang aja,” jawabnya.

Arka sejenak mengamati Bona dan Arbi. Jujur saja ada perasaan menggelitik di hatinya, menggelitik tapi juga menyesakkan.

Kesadarannya bahwa ia masih jauh kalah di bandingkan Arbi, meski hubungan Arbi dan Bona sudah lama di akhiri.

Bona di papah oleh Arka, diikuti oleh Arbi dan yang lainnya di belakang.

“Pah, om itu pacarnya tante Bona?” Tanya Bintang, yang spontan saja membuat kedua tangan Arbi mengepal.

Sulit sekali melihat orang yang dicintai bersama yang lain. Ada penerimaan yang benar benar sulit untuk diterima, salah satunya melihat yang di cinta menemukan pengganti kita.

“Teman,” jawab Arbi.

“Tapi biasanya tante Bona selalu sendiri kemana mana, kok sekarang udah sama om itu. Tante Bona emang pacaran kali pah sama om itu,” ujar Bintang lagi.

“Teman Bintang, orang itu temannya tante Bona,” Tegas Arbi lagi, membuat Luna yang ada di sampingnya semakin curiga.

Luna memang tak punya bukti apapun untuk mencurigai Bona, tapi ada saja yang mengganjal dihatinya setiap kali melihat cara Arbi memandangi gadis itu.

Ada sebuah sinar, yang siapapun mengamatinya pasti akan melihat, ada semburat cahaya di mata Arbi setiap kali memandangi Bona.

Sinar yang Luna tak pernah temukan ketika Arbi memandanginya.

'''''''''''''''

Bona keluar dari kamarnya karena teman kosnya memanggil. Wajahnya masih urak urakan karena ia akhirnya jadi benaran sakit setelah melihat Luna mencium Arbi.

“Kan udah gue bilangin kalo ada yang nyari bilang gue sakit,” celoteh Bona yang malas keluar.

“Cowok ganteng, rugi lo kalo ngak ketemu,” jawab temannya asal.

Bona langsung membeku setelah melihat lelaki yang berdiri di hadapannya benar benar ganteng.

Arbi. Tentu, siapa lagi yang akan sibuk mencarinya jika bukan Arbi. Lelaki itu terlihat keren sekali dengan stelan celana dan jass yang senada, motif kotak kotak abu rokok.

Berdiri dengan satu tangan di masukkan ke saku celana. Pose Arbi yang sangat disukai Bona.

“Bang Arbi? Kenapa disini?” tanya Bona canggung karena ia sedang sangat berantakan dan belum mandi sedari pagi.

“Nyariin adek,” jawab Arbi enteng.

“Iya, maksudnya...” Bona gugup tiba tiba. Ia malu sekali atas peristiwa menangisnya di games zone kemarin malam. “Kenapa abang nyariin adek?”

“Kalo ada tamu di suruh masuk dulu Na, dikasih minum, bukan langsung di interogasi gitu. Apalagi kalo ganteng gini, sayang di anggurin,” goda teman Bona lagi yang memang sejak tadi ada di teras.

Titik Nol (Complited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang